Kumpulan Artikel, Bahan dan Makalah

Minggu, 19 November 2017

LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA

LAPORAN  PENDAHULUAN  ANEMIA


A.   Definisi
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut okesigen ke jaringan (Smeltzer & Bare, 2002).
Anemia adalah berkurangnya kadar Hb dalam darah sehingga terjadi gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh. Disebut gravis yang artinya berat  dan nilai Hb  di bawah 7 g/dl sehingga memerlukan tambahan umumnya melalui transfusi. Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006).

B.   Etiologi
Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni :
1.      Kehilangan sel darah merah
a.   Perdarahan
     Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya adalah trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam, dan lain-lain.
b.   Hemolisis yang berlebihan
     Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada keadaan :
-    Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell anemia)
-    Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia
-    Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis herediter dan eliptositosis
-    Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase (Price, 2006).

2.   Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12.
C.   Patofisiologi
Timbulnya  anemia  mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam  fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang kadar 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (mis., apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dL), hemoglobin akan terdifusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin (hemoglobinuria). Jadi ada atau tidak adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberikan informasi mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada pasien dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat hemolitik tersebut.
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien tertentu disebabkan oleh penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi, biasanya dapat diperoleh dengan dasar (1) hitung retikulosit dalam sirkulasi darah, (2) derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dengan biopsy; dan (3) ada atau tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemian.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting. Salah satunya otak, otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).

D.   Tanda dan Gejala

Selain beratnya anemia, berbagai faktor mempengaruhi berat dan adanya gejala: (1) kecepatan kejadian anemia, (2) durasinya, (3) kebutuhan metabolism pasien bersangkutan, (4) adanya kelainan lain atau kecacatan, dan (5) komplikasi tertentu atau keadaan yang mengakibatkan anemia.
Semakin cepat perkembangan anemia, semakin berat gejalanya. Pada orang yang normal penurunan hemoglobin, hitung darah merah, atau hematokrit tanpa gejala yang tampak atau ketidakmampuan yang jelas secara bertahap biasanya dapat ditoleransi sampai 50%, sedangkan kehilangan cepat sebanyak 30% dapat menyebabkan kolaps  vaskuler pada individu yang sama. Individu yang telah mengalami anemia selama waktu yang cukup lama, dengan kadar hemoglobin antara 9 dan 11 g/dl, hanya mengalami sedikit gejala atau tidak ada gejala sama sekali selain takikardi ringan di saat latihan. Dispneau latihan biasanya terjadi hanya di bawah 7,5 g/dl; kelemahan hanya terjadi di bawah 6 g/dl; dispneau istirahat di bawah 3 g/dl; dan gagal jantung pada kadar yang sangat rendah 2 - 2,5 g/dl.
Secara umum gejala klinis anemia yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia. Sering pula terjadi abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung. Cara mudah mengenal  anemia  dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau muncul 5  gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan, kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Namun pada  anemia  berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Sjaifoellah, 1998).

E.   Pemeriksaan Penunjang
Menurut Guillermo dan  Arguelles  (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memperkuat penegakkan diagnosa anemia antara lain:
1.    Pemeriksaan Laboratorium
a.    Hemoglobin
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan  alat sederhana seperti Hb  sachli.
b.    Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan  flowcytometri atau menggunakan rumus:
-     Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
-     Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan  membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.
-     Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
c.    Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
d.    Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel  darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat  anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi  hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi  serum,  jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
e.    Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai  haematofluorometer  yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
f.    Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter  lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
g.    Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi  dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
h.    Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan  rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
i.    Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/ l selama trimester II dan III  bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum feritin adalah reaktan  fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai  Essay immunoradiometris  (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).
2.    Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan  teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.


G.   Pengkajian

     Data-data yang perlu dikaji pada penderita anemia meliputi (Doenges, 1999) :
1.   Aktivitas/istirahat
Gejala  : - Keletihan, kelemahan, malaise umum.
-  Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat bekerja
-  Toleransi terhadap latihan rendah
-  kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
 Tanda  : - Takikardi/takipnea; dispneu pada bekerja atau istirahat
-  Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
-  Kelemahan otot dan penurunan kekuatan
-  .Ataksia, tubuh tidak tegak
-  Bahu turun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda-tanda lainnya yang menunjukkan keletihan
2.     Sirkulasi
       Gejala  : - Riwayat kehilangan darah kronis, mis., perdarahan GI kronis, menstruasi berat; angina, CHF (akibat kerja jantung berlebih)
-  Riwayat endo karditis infeksi kronik
-  Palpitasi
       Tanda   : - TD : Peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural
-  Disritmia   : Abnormalitas EKG, mis., depresi segmen ST dan pendataran arau depresi gelombang T; takikardia
-  Ekstremitas (warna) : Pucat pada kulit daan membran mukosa (konjungtiva, mulut, faring, bibir) dan dasar kuku; kulit seperti berlilin, pucat (aplastik, AP) atau kuning lemon terang (PA)
-  Sklera (Biru atau utih)
-  Pengisian kapiler melambat
-  kuku mudah patah
-  Rambut kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature.
3.       Eliminasi
       Gejala  : - Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
-  Flatulen, sindrom malabsorpsi
-  Hematemesis, melena
-  Diare atau konstipasi
-  Penurunanhaluaran urin

   Tanda  : Distensi Abdomen
4.     Makanan/cairan
       Gejala :  Penurunan masukan diet, mual/muntah, dyspepsia, adanya penurunn berat badan.
       Tanda  : Lidah tampak merah (AP ; defisiensi as. folat dan vit. B12)
-  Membran mukosa kering, pucat
-  Turgor kulit : buruk, kering, tampakkisut/hilang elastisitas
-  Stomatitis dan glositis
5.  Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, ketidakmampuan berkonsentrasi, insomnia, keseimbangan buruk, sensasi menjadi dingin.
       Tanda  : gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis, epitaksis (aplastik)
6.       Nyeri/kenyamanan
       Gejala : Nyeri abdomen samar ; sakit kepala
       Tanda  : Perilaku distraksi, gelisah
7.       Pernapasan
Gejala : Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
Tanda  : Takipnea, ortopnea, dispnea
8.       Seksualitas
       Gejala :  Perubahan aliran menstruasi, mis., menoragia atau amenore, hilang libido (pria dan wanita), impoten
       Tanda  : Serviks dan dinding vagina pucat

H.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang biasa muncul pada pasien dengan sindrom nefrotik menurut Nurarif & Kusuma (2013), meliputi :
.      Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
.      Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
.      Keletihan

I.    Fokus Intervensi
1.    Peningkatan perfusi jaringan
2.    Memberikan kebutuhan nutrisi/cairan
3.    Mencegah komplikasi



DAFTAR PUSTAKA

•   Anugrah P, dkk. 2012. Anemia Gravis Et Causa Perdarahan Pervaginam. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto.
•   Bulechek G, Butcher H, Dochterman J. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC), fifth edition. Missouri: Mosby Elsevier.
•   Doengoes, E. M., Moorhouse, F. M., & Geisser, C. A. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan (3 ed.). Jakarta: EGC.
•   Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson E. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC), fifth edition. Missouri: Mosby Elsevier.
•   NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 - 2014. (M. Ester, Ed., M. Sumarwati, D. Widiarti, & E. Tiar, Trans.) Jakarta: EGC.
•   Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan NANDA NIC-NOC (Jilid 2 ed.). Yogyakarta: Med Action Publishing.
•   Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (6 ed., Vol. II). (H. Hartanto, Ed., & B. U. Pendit, Trans.) Jakarta: EGC.
•   Suryadi, & Yuliani, R. (2001). Praktek klinik asuhan keperawatan pada anak.Jakarta: Sagung Seto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar