Kumpulan Artikel, Bahan dan Makalah

Jumat, 15 Juni 2018

TEKNIK-TEKNIK HUBUNGAN KONSELING PERORANGAN

TEKNIK-TEKNIK HUBUNGAN KONSELING PERORANGAN


A.    Menerima klien

Kesediaan klien dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor dapat menerima klien sebagaimana adanya secara positif. Konselor dapat menerima klien secara positif, dengan sikap ramah tamah, hangat dan penuh perhatian akan memberikan dampak positif kepada klien. Klien akan merasa bahwa dia benar-benar diterima, direhatikan dan merasa bahwa konselor benar-benar siap membantunya. Penggunaan teknik menerima klien secara tepat akan memepengaruhi hubungan konseling selanjutnya. Klien yang  diterima sebagimana  adanya akan mau menjalankan proses dan hasil konseling secara sukarela dan sungguh-sungguh. Hal ini tentu akan membantu mempercepat tercapainya tujuan konseling yang diharapkan.
M. surya (dalam Yeni Karneli,2000: 46) penerimaan terhadap klien berkaitan dengan pemahaman dan sangat mempengaruhi hubungan antar manusia yaitu hubungan antara konselor dengan klien. Menerima klien berkaitan dengan rasa hormat terhadap individu sebagai pribadi yang memiliki harga diri.
Sejalan dengan itu Taylor (dalam Yeni Karneli, 2000:46) mengidentifikasi ada dua komponen penerimaan, yaitu:
1.      Kemampuan meneria kebenaran bahwa individu berbeda satu sama  lain, demikian cara-cara dan perilaku yang ditampilkan.
2.      Perwujudan diri yang berlangsung dalam pengalaman, bahwa setiap orang memiliki pola yang kompleks dalam berbuat, berfikir dan merasa.
Penerimaan menggambarkan menerima individu sebagaimana adanya, dengan menghormati individu sebagai manusia yang memiliki martabat, akan membantu memperlancar hubungan konseling. Contoh; mengucapkan salam, berjabat tangan, mempersilahkan klien duduk, menyebut nama klien (kalau sudajh kenal, atau menanyakan nama klien (jika belum kenal), memperkenalkan nama konselor, membicarakan hal-hal yang menarik, yang sempat ditangkap dan pertemuan yang singkat itu dan sebagainya.
Cara konselor seperti ini akan menggambarkan penerimaan yang positif dari konselor, dan akan menimbulkan rasa diterima secara penuh pada diri klien.

B.     Jarak duduk dan cara duduk

Jarak duduk antara konselor dank lien, akan mempengaruhi situasi dan suasana dan konseling. Jarak duduk yang terlalu jauh akan memberikan kesan kurang akrab. Sedangkan jarak duduk yang terlalu dekat akan menjadikan klienmaupun konselor terasa tergangu yang akhirnya dapat menjadi salah tingkah.
Posisi duduk antara konselor dan klien haruslah berhadapan secara sejajar. Dalam penyelenggaraan konseling, jarak duduk yang sebaiknya adalah 80-100 cm, dengan tidak memakai pembatas atau meja. Tujuan jarak duduk yang demikian adalah agar konselor dapat dengan mudah menangkap isyarat yang ditampilkan klien, baik gerakan-gerakan atau isyarat non verbal, sehingga konselor dapat memberikan respon secara tepat, mulai dari awal konseling sampai berakhirnya konseling.
Jarak duduk seperti yang sudah diuraikan terdahulu kadang kala kurang menguntungkan, misalnya bila klien seorang wanita yang memakai pakaian yang merusak pandangan mata konselor. Jadi dapat disimpulkan bahwa jrak duduk tergantung pada situasi dan kondisi tertentu dan untuk situasi tertentu jarak duduk dapat dipertimbangkan. Terutama bila kondisi tersebut menggangu proses konseling.
Konselor yang duduk  seenaknya akan memberikan kesan santai, dan ini akan ditangkap oleh klien bahwa knselor kurang bersungguh-sungguh dan kurang menerima klien. Sikap duduk yang terlalu tegap juga akan memberikan kesan tertentu kepada klien, klien akan merasa dirinya sedang berhadapan dengan orang yang mengadili atau mengintropasinya.
Posisi duduk yang diharapkan adalah bberhadapan dengan klien. Bila konselor duduk disebuah kursi yang mempunyai sandaran, maka konselor jangan duduk bersandar, rileks, ataupun menhadapi klien dengan posisi yang sedikit miring.
W.S Winkel (dalam yani Karneli 2000: 56) menjelaskan sikap duduk yang diharapkan dalam wawancara konseling, yaitu:
1. duduk sedikit membungkuk kedepan
2. duduk tidak bersandar
3. tangan di atas paha
4. kedua kaki harus kebawah.
Sikap duduk yang demikian memberikan kesan bahwa konselor memiliki perhatian yang besar terhdap klien dan benar-benar siap memberikan bantuan.
Munro (1983: 42) konselor sebaiknya duduk berhadapan dengan klien dalam suasana bebas, santai dengan jarak cukup memadai untuk memugknkan klien dapat merasa senang. Tangan konselor hendaklah  tetap diam dan wajah hendaklah menunjukan suasana bersahabat. Duduk dengan membungkuk, mempermainkan sesuatu, mengerutkan dahi, atau terlalu banyak gerkan yang tidak perlu dapat membuat klien membingungkan.

C.    Kontak Mata

Kontak mata adalah pusat pandangan konselor yang tertuju pada sasaran yang tepat pada klien. Sasaran yang tepat adalah apabila pandangan konselor ditujukan pada sesuatu secara wajar, sehingga menimbulkan kesan bahwa konselor menaruh perhatian penuh pada klien.
Winkel 1991 (dalam Yeni karneli 2000: 57) menjelaskan bahwa kontak mata harus dapat menghindarkan kesan bahwa konselor memaksa, mengejar dan mempermalukan klien. Kontak mata yang memandang daerah pas photo klien secara wajar akan memberikan kesan bahwa konselor benar-benar memberikan kesempatan kepada klien untuk mengutarakan masalahnya dan klien merasa ia di terima apa adanya.
Munro (1983: 42) kontak mata yang baik adalah dengan cara melihat pada klien ketika dia sedang berbicara dan menggunakan pandangan mata yang menunjukan perhatian dan penerimaan konselor terhadap klien.


TEKNIK – TEKNIK DASAR DALAM KONSELING INDIVIDUAL
Beberapa teknik dasar yang biasanya di gunakan dalam konseling individual antara lain:
a. Attending (perhatian/menghampiri konseli)
Attending adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk memusatkan perhatian kepada klien agar klien merasa dihargai dan terbina suasana yang kondusif sehingga klien bebas mengekspresikan / mengungkapkan tentang apa saja yang ada dalam pikiran, perasaan ataupun tingkah lakunya.
Contohnya posisi badan termasuk gerak isyarat dan ekspresi muka serta kontak mata.
b. Opening(pembukaan)
Opening adalah ketrampilan / teknik untuk membuka / memulai komunikasi dan hubungan konseling.
Hal ini dapat berupa menyambut kehadiran klien dan membicarakan topic netral dan sebagainya.
c. Empati
Merupakan suatu cara untuk menyatakan perasaan konselor terhadap permasalahan konseli, konselor seperti merasakan terhadap apa yang di rasakan konseli.
d. Rertatement(pengulangan)
Restatement adalah teknik yang digunakan konselor untuk mengulang / menyatakan kembali pernyataan klien ( sebagian atau seluruhnya ) yang dianggap penting.
e. Refleksi
Adalah teknik yang digunakan konselor untuk memantulkan perasaan / sikap yang terkandung dibalik pernyataan konseli.
f. Clafication(klarifikasi)
Clafication ( klarifikasi ) adalah teknik yang digunakan untuk mengungkapkan kembali isi pernyataan klien dengan menggunakan kata-kata baru dan segar. Contohnya pada intinya, pada dasarnya dll.
g. Paraphrasing
Merupakan teknik konselor dalam menangkap pesan yang tersirat di balik pembicaraan konseli.
h. Eksplorasi
Adalah suatu teknik / cara bagi konselor dalam menggali permasahan konseli secara lebih mendalam.
i. Konfrontasi(pertentangan)
Konfrontasi ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor untuk menunjukan adanya kesenjangan, diskrepansi atau inkronguensi dalam diri klien kemudian konselor mengumpanbalikan kepada klien.
P. Interprestasi ( penafsiran )
Interprestasi adalah ketrampilan / teknik yang digunakan oleh konselor dimana atau karena tingkah laku klien ditafsirkan / diduga dan dimengerti dengan dikomunikasikan pada klien. Selain itu didalam interpretasi konselor menggali dan makna yang terdapat dibelakang kata-kata klien atau dibelakang perbuatan / tindakannya yang telah diceritakannya. Bertujuan membantu klien lebih memahami didiri sendiri bila mana klien bersedia mempertimbangkannya dengan pikiran terbuka.
j. Termination(pengakhiran)
Termination ( pengakhiran ) adalah ketrampilan / teknik yang digunakan konselor untuk mengakhiri komunikasi berikutnya maupun mengakhiri karena komunikasi konseling betul-betul telah “berakhir”.

PERTANYAAN TERBUKA
Pertanyaan terbuka  merupakan respon konselor dalam kalimat tanya yang yang menuntut klien memberikan penjelasan yang panjang dan banyak..Pertanyaan terbuka dapat membantu konselor dalam penggalian masalah dan penjelajahan masalah. Melalui pertanyaan terbuka konselor bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah, sehingga konselor dapat membimbing klien kea rah yang lebih tepat. Selama proses konseling hendaknya konselor selalu menggunakan pertanyaan terbuka dan menghindari pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup digunakan hanya dalam kondisi yang betul-betul diperlukan.
Pertanyaan terbuka mengajak klien untuk meneruskan pertanyaannya dengan memberikan lebih banyak uraiannya mengenal hal yang telah di kemukakanya. Misalnya terhadap uraian yang telah di berikan oleh seorang ibu yang putus asa karena ulah anaknya yang kecanduan narkoba, konselor bertanya :
“Bagaimana perasaan ibu ketika melihat dia benar-benar  kecanduan obat terlarang itu?”
Pertanyaan terbuka seperti itu penting, terutama pada tahap awal wawancara. Pertanyan-pertanyaan terbuka lainya dapat di lakukan dengan mengunakan kata Tanya: apa, kapan, dan bagaimana. Pertanyaan terbuka seperti itu akan menghasilkan  jawaban yang dapat di jadikan arah  atau informasi yang berguna untuk mengadakan tindak lanjut, dan juga memungkinkan suasana percakapan dapat berlangsung dangan baik. Hal ini juga menunjukan  pada klien bahwa ia bebas untuk  mengemukakan  isi pembicaraan sesuai apa yang di inginkan.
Sebaliknya pertanyaan tertutup akan cendrung menutup percakapan dengan hal menjawab pertanyan itu dengan jawaban  “ya” atau “ tidak” saja. Meskipun konselor, katakanlah terpaksa menggunakan pertanyaan tertutup, sebaiknya segera diikuti dengan pertanyaan terbuka, contoh: Anda betul-betul mencintainya? Atau bagaimana?. Pertanyaan terbuka tanpa didahului oleh pertanyaan tertutup misalnya: Bagaimana perasaan anda jika bertemu dengan dia?Apa yang anda fikirkan tentang dia? Bagaimana kejadiannya?

Keruntutan Dalam Konseling
Keruntutan merupakan  respon yang diberikan konselor kepada klien yang tepat pada sasaran, tidak menyimpang dari isi pernyataan atau pertanyaan klien. Respon konselor bisa menjadi runtut bila konselor benar-benar memahami isi pembicaraan klien, untuk itu dibutuhkan konsentrasi penuh dan kemampuan konselor dalam menangkap inti pembicaraan klien. Pembicaraan klien yang panjang lebar, mungkin saja intinya hanya satu kata atau satu kalimat. Konselor tidak boleh terbawa arus dengan pembicaraan klien yang panjang lebar, yang sebenarnya tidak  terkait dengan masalah yang sebenarnya. Disini dibutuhkan kepekaan  konselor dalam menanggapi perilaku klien. Konselor tidak boleh lengah sedikitpun memperhatikan dan mendengarkan klien. Jika konselor tidak mampu menangkap inti pembicaraan klien, maka akan terjadi peloncatan respon dari konselor dan akan terjadi pula respon yang tidak tepat bahkan bias terjadi pula respon yang tidak positif. Hal ini tentunya membawa dampak yang tidak baik, lebih jauh dari itu  justru tidak tergalinya masalah klien yang pada gilirannya masalah tidak terpecahkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar