Kumpulan Artikel, Bahan dan Makalah

Sabtu, 03 Maret 2018

PENGERTIAN TASAWUF

PENGERTIAN TASAWUF



A.    Pengertian Tasawuf
Ditinjau menurut bahasa, terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan oleh para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Menurut Harun Nasution, terdapat lima istilah yang berkenan dengan tasawuf diantaranya:
1. Shafa (suci), disebut shafa karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan keikhlasannya.
2. Shaff (barisan), karena kaum sufi memiliki iman kuat, jiwa bersih dan senantiasa memilih barisan paling depan dalam shalat berjamaah.
3. Theosophi (Yunani: theo= Tuhan; shopos= hikmah); yang artinya hikmah/ kearifan ketuhanan.
4. Shuffah (serambi tempat duduk); yakni serambi masjid nabawi yang di madinah yang disediakan untuk orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dari kaum muhajirin di masa Rasulullah. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah karena serambi tersebut sebagai tempat tinggal.
5. Shuf (bulu domba): hal ini disebabkan kaum sufi biasa menggunakan pakain dari bulu domba yang kasar, sebagai lambing kerendahan hati mereka serta menghindari kesombongan didalam hatinya, dan zuhud kepada dunia.

TASAWUF MENURUT IBRAHIM BASYUNI
             Menurut Dr. Ibrahim Basyuni mengklasifikasikan tasawuf menjadi tiga, yaitu definisi yang menitik beratkan pada Al bidayah(tasawuf dalam tataran elementer), Al mujahadah(tasawuf dalam tataran intermediate), dan Al madzaqat(tasawuf dalam tataran advance).Dengan demikian menurut Basyuni Tsawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dalam rangka mendekatkan diri kepada allah untuk mendapatkan perasaan hubungan erat dengannya.
  Demikianlah pendapat para para ahli berkenaan dalam mengkaji pengertian tasawuf, namun para sufi tidak sepakat dalam mengartikannya. Para sufi mengatakan bahwasannya pengertian mereka sesuai dengan pengalaman mereka lakukan masing-masing. Menurut Al-junaidi Al-Baghdadi (bapak tasawuf moderat), tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah (biologis), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat kepada sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, memberikan nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah dan mengikuti syariat Rasul SAW.
  Kemudian seorang tokoh sufi Abu Yazid Al-Bustami (w.261 H/875 M) mengemukakan bahwa tasawuf meliputi tiga aspek, yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’ maksudnya adalah takhali berarti mengosongkan diri dari perangai tercela; ha’ maksudnya tahali berarti mengisi diri dengan akhlak terpuji; dan jim maksudnya tajali, berarti mengalami kenyataan ke-Tuhanan.
  Selain itu Ibrahim Basyuni sarjana muslim berkebangsaan Mesir mengkategorikan pengertian tasawuf pada 3 hal: Pertama, Al-bidayah, ialah pemahaman tasawuf pada tingkat permukaan yakni menekankan kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada Yang Maha Mutlak, sehingga seseorang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, Al-Mujahadah, ialah pemahaman tasawuf pada pengalaman yang didasarkan kesungguhan yakni yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam pendekatan diri kepada Allah SWT. Ketiga, Al-Madzaqat, ialah pemahaman tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keberagaman, terutama dalam mendekati dzat yang mutlak.
  Dari ketiga pemahaman kategori tasawuf diatas, Basyuni menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang menggerakan jiwa secara benar kepada amal dan aktifitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan dengan-Nya. 
B. KARAKTERISTIK TASAWUF
  Berdasarkan kajian para ahli dilihat dari karakteristik tasawuf yang paling menonjol, pertama, tasawuf diartikan sebagai pengalaman mistik. Dalam pemahaman ini tasawuf diartikan sebagai suatu kondisi pemahaman yang dapat memungkinkan tersingkapnya realitas mutlak. Pemahaman tersebut bukan berasal dari pengetahuan yang bersifat demonstrative, tetapi ilham yang menyusup kedalam lubuk hati.  
  Kemudian Abu Wafa Al-Ghanimi At-Tafizani ahli filsafat islam dan taswuf serta dosen Universitas Cairo menyampaikan pendapatnya bahwa ciri umum tasawuf adalah tasawuf memiliki nilai-nilai moral yang tujuannya membersihkan jiwa yang hanya dapat diperoleh melalui latihan fisik serta psikis melalui pengekangan diri dari pengaruh materialisme duniawi.
  Dengan berlatih secara terus menerus dan intensif seorang suffi akan sampai pada kondisi psikis tertentu dimana dia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan ia merasa kekal abadi dalam relitas mutlak. Kehendaknya pun lebur dalam kehendak yang mutlak .Sehingga tersingkaplah rahasia segala sesuatu.
  Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan melalui dalil. Orang yang mendapatkan pengetahuan ini dianggap berada dalam cahaya Allah dijalan yang benar, karena mereka memilki kemampuan melihat sesuatu langsung dari hakikatnya. Itu sebabnya tasawuf sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata yang mudah untuk dipahami masyarakat awam. Ia merupakan puncak pengalaman perjalanan rohani menuju yang mutlak.Dalam konteks inilah yang sering dikatakan Ibnu Arabi, tasawuf hanya dikaruniakan Allah kepada para Nabi dan Wali, karena merekalah yang telah mencapai puncak tertinggi proses penyucian rohaninya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. 
Berdasarkan obyek dan sasarannya tasawuf diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu: 
  1. Tasawuf akhlaki yaitu tasawuf yang sangat menekankan pada nilai-nilai etis (moral)
  2. Tasawuf amali yaitu tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah.
  3. Tasawuf falsafi yaitu menekankan pada masalah-masalah yang metafisik.

C.  MAQAMAT DALAM TASAWUF
  Menurut bahasa maqamat berasal dari kata makan yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Selanjutnya, istilah ini dipakai untuk arti jalan panjang yang berjenjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
  Maqamat dalam tasawuf menurut Abu Nasr As-Saraj dengan berurutan sebagi berikut: tobat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal, ridha.
  1. Tobat. Tobat menurut bahasa adalah kembali, sedangkan tobat yang dimaksud oleh kelompok sufi adalah memohon ampun kepada Allah swt atas segala dosa dan kesalahan dan berjanji dengan sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut lagi, kemudian diikuti dengan amal kebajikan.
  2. Warra’. Kata Wara’ berarti saleh, yaitu menghindari diri dari perbuatan dosa atau menjauhi hal-hal yang tidak baik dan subhat. Dalam pengertian sufi, wara’ adalah menghindari jauh-jauh segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram.
  3. Zuhud. Dari segi bahasa diartikan sebagai tidak ingin terhadap sesuatu yang bersifat keduaniawian. Orang yang Zuhud lebih mengutamkan dan sangat merindukan kebahagiaan hidup diakhirat dari pada mengejar dunia yang fana’.
  4. Fakir.  Dari segi bahasa artinya adalah orang yang berhajat, butuh, atau orang miskin, sedangkan pandangan kaum sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari pada yang menjadi haknya, tidak banyak mengharap dan memohon rezeki. Kecuali haknya dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.
  5. Sabar. Dikalangan para sufi, sabar terdiri dari sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah dan sabar dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan kepadannya.
  6. Tawakal. Tawakal merupakan penyerahan diri seorang hamba kepada Allah setelah ada usaha maksimal.
  7. Ridha. Dari segi bahasa berarti rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan bahwasannya ridha adalah tidak berusaha, tidak menentang qadha dan qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar Allah dengan senang, mengeluarkan perasaan benci dan dengki dari hati sehingga yang muncul hanya perasaan gembira, merasa senang menerima malapetaka serasa menerima nikmat, tidak meminta surga dari Allah SWT maupun menjauhkan dari neraka, dan tidak berusaha sebelum turunnya qada dan qadar serta tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunya qadha’ dan qadhar.

  Perjalanan spiritual yang dilakukan oleh seorang sufi dalam menentukan hakikat dan makrifat tersebut kadang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, sehingga munculah beberapa tokoh sufi yang menonjol dalam pengalaman rohani tertentu seperti zuhud, mahabah, fana, hulul, wahdatul wujud dan lain-lain.
1. Zuhud. Orang Zuhud lebih lebih mengutamakan dan sangat merindukan kebahagiaan hidup diakhirat dan kekal serta abadi dari pada mengejar dunia yang fana’. Diantaranya tokoh zuhud yang terkenal adalah:
a. Sa’id bin Musayyab (91 H), murid dari Abu Hurairah.
b. Hasan Bashri (21).
c. Sufyan Ats-Tsaury, lahir dikuffah 97 H.
d. Ibrahim  bin Adham (w 165 H) lahir di balkh, Persia.
2. Mahabbah. Tokoh mahabbah paling mashur adalah Rabi’ah Al-Adawiyah (w 185 H). Ia dilahirkan di Bashrah, menurutnya zuhud harus dilandasi dengan mahabbah (rasa cinta) yang mendalam, kepatuhan kepada Allah bukanlah tujuannya, karena ia tidak mengharapkan surge dan tidak takut adzab neraka, tetapi ia mematuhinya karena rindu dan cinta kepada-Nya.
3. Fana’ dan Baqa’ (lewat penghancuran munculah kekekalan). Dari segi bahasa fana’ artinyasirna, lebur, hilang, sedangkan baqa’ artinya kekal, abadi, dan senantiasa ada. Sehingga ketika kaum sufi mencapai maqom ini ia merasa fana’ yaitu hilangnya sifat-sifat tercela dan munculnya sifat yang terpuji.
4. Ittihad. Ittihad merupakan pengalaman batin akan kesatuan seorang sufi. Seorang sufi akan mabuk dalam kenikmatan bersatu dengan Allah. Dalam keadaan ini tidak jarang muncul ucapan-ucapan yang sebagian orang dianggap aneh seperti kata-kata: Ana Al-Haq= (Aku adalah Al-Haq), aku adalah Yang Satu. Tokoh yang sangat popular dalam maqomat ittihad adalah Abu Yazi Al-Bustami.
5. Hulul. Tokoh mashur hulul adalah Abu Mansyur Al-Hallaj. Menurut pandangannya tingkat fana’ yang dicapai seorang sufi bukan hanya membawa pada ittihad tetapi lebih jauh lagi yakni hulul. Hulul merupakan bertempatnya sifat ketuhanan kepada sifat kemanusiaan. Dalam hal ini, Al-hallaj dipandang sebagai sufi controversial sehingga harus berakhir ditiang gantungan.
6. Wahdatul wujud. Teori ini berpijak pada pandangan bahwa, semua wujud hanya memiliki satu realitas, realitas tunggal itu adalah ialah Allah SWT. Adapun alam semesta yang serba ganda dan berbilang ini hanyalah wadah penampakan diri dari nama dan sifat Allah dalam wujud terbatas. Tokoh yang terkemuka adalah Ibnu arabi.
  Dari beberapa maqamat dan pengalaman sufi diatas dapat kita teladani dalam hidup keseharian sesuai dengan kapasitas kemampuan kita, dengan sendiriya akan bermunculan akhlak terpuji yang bias membangun kehidupan bermasyarakat.



D.  TASAWUF SUNNI DAN TASAUF FALSAFI
Tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk yaitu:
  1. Tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis
  2. Tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam beribadah
  3. Tasawuf falasafi yang bermakna mistik metafisis

Berdasarkan kedekatan atau jarak manusia dengan tuhan, tasawuf dibedakan menjadi 2 yaitu :
  1. Tasawuf transendetalisme/tasawuf sunni : masih memberikan garis pemisah atau pembeda antara manusia dengan tuhan. Ajaran tasawufnya masih berada dalam garis-garis islam.
  2. Tasawuf union mistisisme/tasawuf syi’i : garis pemisah antara manusia dengan tuhan dapat dihilangkan sehingga manusia dapat manunggal dengan tuhan. Konsep tasawuf ini dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip islam.

  Tasawuf dapat ditempuh melalui pendekatan geografis yaitu melihat daerah asal munculnya tasawuf itu.Berdasarkan aliran ini, tasawuf dapat dicirikan kepada aliran khurasan atau Persia yang didominasi konsep al-fana ajaran Abu Yazid al-Busthami dan tasawuf aliran Mesopotemia atau Irak yang bermula dari ajaran al-Junaidi dan kemudian diperluas oleh al-Ghazali.

TASAWUF SUNNI
Gerakan asketisme dalam islam dapat dibedakan kepada empat aliran utama yaitu :
  1. Aliran Madinah, aliran ini berpegang teguh pada Alqur’an dan sunnah serta menempatkan Rosululloh SAW sebagai idola kezahidan mereka. Para zahid yang menonjol yaitu Abu Ubaidah al-Jarrah,Abu Dzar al Ghiffari, Salman al-Farisi dan Abdullah Ibnu Mas’ud.
  2. Aliran Bashrah, mulai nampak pada abad 2 H. Kelompok ini mengembangkan sikap yang samgat takut kepada murka Alloh serta takut pada siksa neraka di akhirat. Para zahid yang terpenting yaitu Malik ibn Dinar dan Hasan al-Bashri
  3. Aliran Kuffah, bercorak idealis,gemar pada hal-hal yang bersifat imajinatif yang dituangkan dalam bentuk puisi, tekstualis dalam memahami nash dan sedikit cenderung kepada faham syiah. Namun, secara keseluruhan aliran ini masih berpola pada ahlu sunnah. Tokoh utamanya adalah Sufyan al-Tsauri.
  4. Aliran Mesir, ciri-cirinya sama dengan Madinah sebab aliran ini sebenarnya adalah perluasan dari madinah melalui para sahabat yang ikut serta ke mesir pada waktu umat islam memasuki kawasan itu. Zahidnya yaitu Abd Rahman ibn Hujairah, Nafi,Abu Abdullah ibn Muslim al-Mishri. Dari para zahid ini muncul seorang sufi terkenal di Mesir yaitu Dzu al-Nun al-Mishri. Sulit dipastikan kapan waktu yang tepat peralihan asketisme ke sufisme, tetapi adalah pasti bahwa sufisme yang awal adalah sufisme yang tetap konsisten dan komtmen dengan prinsip-prinsip islam. Maka, tasawuf tipe awal dapat diterima oleh sebagian besar ulama terutama para ulama yang tergolong Ahlu as-Sunnah. Hal ini pulalah salah satu sebab utama penamaannya kemudian dengan tasawuf sunni.


TASAWUF FALSAFI 
  Berkembangnya tasawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucian bathin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Alloh, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok ini tampil sejumlah sufi yang filosofis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

  Selain Abu Yazid al-Busthami, tokoh-tokoh teosofi yang popular dalam kelompok ini yaitu Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusi dan sekaligus sebagai perintis.Al-Hallaj (w.308 H) memformulasikan teorinya dalam doktri al-Hullul, yakni perpeduan insan dengan Tuhan secara rohaniyah atau antara makhlluk dengan al-Khaliq. Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi , sebenarnya telah dicapai pada konsepsi al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistis dari Ibn Arabi (w.638 H). Sementara iru sebelum Ibn Arabi menyusun teorinya seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh (w.633 H) mengembangkan teori yang hampir sama dan dikenal dengan al-wahdat as-syuhud. 

  Pada umumnya mereka yang bermadzhab syi’ah dan yang berpola pikir muktazilah dalam teologi dapat menerima konsep-konsep tasawuf falsafi.Oleh karena itu, aliran tasawuf ini berkembang pesat di kawasan dimana umat islamnya bermadzhab syi’ah atau beraliran muktazilah.Hal ini menjadi sebab utama kenapa sebagian orang menamainya dengan tasawuf syi’i.

  Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong kepada konsepsi kesatuan wujud atau union mistik. Inti dari ajaran ini adalh bahwa dunia fenomena ini hanya bayangan dari realitas yang sesungguhnya yaitu Tuhan.Satu-satunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu.Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu mereka berpendapat, bahwa alam ini (termasuk manusia) merupakan radiasi dari hakikat Illahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke-Tuhanan, karena ia merupakan pancaran dari Nur Illahi. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu bergerak untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya.

  Kalau bagi sufi mengartikan ma’rifat sebagai pengenalan Alloh melalui qalb dan merupakan stasion tertinggi, maka bagi sufi kelompok ini, manisia masih dapat melewati maqom ma’rifat yaitu dengan bersatu dengan Alloh yang kemudian dikenal dengan istilahittihad. Dengan lahir dan berkembangnya perenungan tasawuf seperti ini, maka pembahasan-pembahasan tasawuf sudah lebih bersifat filsafat, karena sudah menjangkau persoalan metafisis, yaitu masalah tuhan disatu sisi dan manusia disisi lain bahkan telah memasuki kajian proses kebersatuan manusia dengan Tuhan.

AL-FANA
  Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Alloh, dapat bersatu dengan Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensinya (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehinnga ia tidak menyadari pribadinya (fana’an nafs). Fana’an nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu kedalam iradah Alloh bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan dzat Alloh.

  Pada perkembangan yang awal,ada dua aliran fana’, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili Al-Junaid al-Baghdadi biasanya disebut fana fi tauhid. Kalau seorang telah larut dalam ma’rifatulloh dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Alloh, maka ia telah fana dalam tauhid. Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami yang mengartikan al-fana sebagai penyatuan dirinya dengan Tuhan.

AL-ITTIHAD
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut diatas, maka pada saat itu ia telah menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Didalam peraduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan itthad.
Pahamini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Illahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu dengan Yang Tunggal yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai dengan sesuatu apapun.

AL-HULUL
  Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan merupakan perkembangan lanjut dari peham al-ittihad. Konsepsi al-hullul pertama kali ditampilkan oleh Husein Ibn Mansur al-Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H, karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.

  Pengertian al-Hulul secara singkat yaitu Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana atau ekstase.Sebab menurut al-Hallaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat-sifat Illahiyat atau Lahut dan sifat Insaniyah atau Nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya  dan mengembangkan sifat-sifat Illahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan ionilah yang dimaksud dengan hulul.


AL-WAHDAT AS-SYUHUD
Konsepsi al-wahdat as-syuhud merupakan ajaran tasawuf yang mirip dengan paham al-wahdat al-wujud.Ajaran ini adalah karya mistis dari Umar Ibn al-Faridh (w.632 H) di Mesir dan makamnya di al-Qarafa tetap terpelihara dengan baik hingga sekarang.

Oleh karena karya-karyanya yang selalu bertemakan cinta, ia digelari sebagai “sulthan al-asyiqin” atau si raja cinta. Melalui latihan dan konsentrasi bathin yang teratur, maka cintanya kepada Alloh semakin mendalam dan semakin menguasai segenap relung qalbunya sehingga ia dapat merasakan getaran cahaya Tuhan dan akhirnya yang ia rasakan dan ia lihat hanya satu yakni Yang Esa. Situasi mistis yang demikian itu disebut wahdat as-syuhud.

AL-ISYRAQIYAH
  Konsep tasawuf al-isyraq barangkali adlah tipe taswuf falsafi yang paling orisinil diantarakonsep-konsep tasawuf yang sealiran perkiraan ini cukup beralasan mengingat,bahwa Suhrawardi al-Maqtul sebagai konseptornya,adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai aliran filsafat yunani maupun filsafat persia dan india.Nama lengkapnya adalah Abu al-futuh yahya Ibn Habsyi ibn Amrak,Lahir di Suhrawardi 578H.
Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan nampaknya searti dengan al-kasyf.Akan tetapi bila dilihat pada inti ajaran ini,maka al-Isyraq lebih tepat diartikan penyinaran atau illuminasi.Menurut Suhrawardi,sumber dari segala yang ada iala cahaya yang mutlak ia disebut dengan nurul al-anwar,mirip matahari.

E.  TIPE-TIPE ALIRAN TASAWUF DAN PERKEMBANGANNYA
Dan di dalam tasawuf dan perkembangannya mempunyai 2 aliran mistic :
Ini menurut Annemarie Shcimmel yaitu aliran pertama “mysticsm of infinity”
Aliran yang kedua yaitu “mysticsm of personality”.
  Adapun definisi mysticsm of infinity adalah mysticm yang memandang Alloh sebagai realitas yang absolut yaitu mempunyai pekerjaan yang pasti dan tidak terbatas.seperti contohnya alloh di ibaratkan sebagai lautan yang tidak terbatas dan tidak terkiat oleh zaman.
  Adapun definisi mysticsm of personality adalah hubungan antara makhluk dengan al kholiq mengapa demikian,di karenakan untuk membedakan antara manusia sebagai makhluk dan alloh sebagai sang kholiq.Adapun al kholiq di pandang sebagai dzat bersifat transenden yaitu mempertahankan perbedaan antara manusia sebagai makhluk.dan alloh sebagai al kholiq.
  Akan tetapi menurut kepahaman union mysticsm sebaliknya yang di atas bahwa sanya al haq suatu dzat yang bersemayam dalam alam semesta dan dalam diri manusia.Contohnya seperti pengakuannya al-hallaj “bahwa sanya dia lah al-haq,tak ada al-hallaj yang ada hanya al-haq”
Ini di anut atau didukung oleh al-hallaj,ibnu arobi,hamzah fansuri,syamsudin pase,ini semuanya pemahaman wahdatul wujud.
  Akan tetapi menurut kepahaman Al-ghazali bahwa sanya al-haq dipandang sebagai dzat yang mempertahankan perbedaan manusia sebagai makhluk dan sebagai al-khaliq,dan imam al-ghazali ini tidak bersependapat dengan union mysticsm al-hallaj,ibn arobi,dkk.yang mengatakan al-haq bersemayam dalam diri manusia.
  Sebenarnya tasawuf itu sudah ada sejak zaman Rasululloh SAW yaitu kehidupan nabi dan para sahabat yang lebih spesifik lagi adalah kehidupan ahli shuffah yang tinggal di masjid nabawi.
  Disinilah mulai nampaknya kehidupan tasawuf karena zaman rasul semua hidup dalam kesederhanaan.akan tetapi dizaman ini,kemewahan sudah sangat di minati sehingga orang-orang cinta kepada kehidupan rasul menyuruh kepada kezuhudan dan pelopornya abu zar al-ghifari.
Zuhud adalah meninggalkan kemewahan hidup.pelakunya disebut zahid yang tekun dalam kezuhudan disebut abid (ahli ibadah).tokoh zuhud yang terkenal adalah hasan al-basri ari busro lahir di madinah 642M dan sofyan al-anshai wafat 970M.Dan landasan zuhud mereka adalah khauf,dan raja’.

  Pada akhir abad yang ke2 perubahan dari zuhud ke tasawuf mulai nampak,tokoh yang mempeloporinya adalah ibrahim bin adam,pada abad yang ke 3 sampai yang ke 4 mulailah kesepian di kaji dengan 2 kecenderungan.yang pertama cenderung kepada akhlaq yang berlandasan dengan al-qur’an yang kedua cenderung kepada filsafat.
Tokoh yang pertama adalah haris al-mukhasibi,sirri sagoti,abu said al-kharas,dan paling populer junaid baghdadi.
  Sedangkan aliran filsafat ada zunun al-misri,ahli sufi dan ahli kimia dan paling berani adalah Yazid al-bustomi dengan teori al-skar (mabit ketuhanan) al-fanna al-bakoq(pelebaran diri untukmencari keabadian diri untuk mencapai keabadian dalam diri tuhan dan al-ithad bersatu dengan al-haq
  Puncak tasawuf filsafat abad yang ke 3 sampai yang ke 4 terletak pada Husain ibnu mansur al-hallaj tokoh yang paling kontrofersial dalam sejarah tasawuf dan akhirnya ibnu mansur al-hallaj menemui ajalnya dengan digantung.
  Dan disinilah saat ibnu mansur al-hallaj meninggal dan semakin tenggelamlah tasawuf falsafi.Sedangkan tasawuf sunni ini semakin mendapat tempat di hati masyarakat dalam arti berjayanya tasawuf sunni dan hal ini di dukung oleh asy’ariyah dalam teologi yang sejalan dengan tasawuf sunni puncak kecemerlangan pada abad 5 H, adalah pada masa Al-ghazali yang karena ilmu kedukungannya yang tinggi dalam islam ia di beri gelar hujaj al islam(argumentator islam) karyanya amat banyak yang terkenal adalah ihya ulumuddin(menghidupkan ilmu-ilmu agama) dimana ia berusaha mendamaikan ilmu teologi fiqh dan tasawuf.

TUJUAN TASAWUF
Beliau menyimpulkan yaitu dahlan tamrin secara umumnya bagaimana agar kita ini sedekat mungkin dengan Alloh.Dan untuk mencapai hal demikian ini mempunayi 3 sasaran :
1)      Tasawuf yang membina aspek moralitas sesuai yang di kehendaki rasul ketika mendapatkan musibah yang menimpanya dia bisa sabar,bahkan dia bisa bersyukur menerimanya.
2)      Tasawuf yang bertujuan agar bisa kenal kepada Alloh dengan cara melalui sholat supaya bisa khusyu’ dan mujahadah,dan sebab itu akhirnya musyahadah  ila Alloh itu berhubungan langsung kepada Alloh
3)      Tasawuf yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh secara mistis filosofis contohnya seseorang hamba bisa menggerakkan anggota badannya yang di kehendaki atau di ridhai Alloh.
Semisal kakinya untuk beribadah kepada Alloh.

F.  PERBEDAAN TASAWUF SUNNI DAN FALSAFI
Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi, ditemukan sejumlah kesamaan disamping perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Kedua aliran ini sama-sama berjalan pada prinsip al-maqomat dan al-ahwal.
 Perbedaan yang jelas diantara kedua aliran ini nampaknya terletak pada tujuan “antara” maqom tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Sedangkan pada aspek tujuan akhirnya, kedua aliran sama-sama ingin memperoleh kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang bersifat spiritual. Dimaksud dengan tujuan “antara” adalah terciptanya komunikasi langsung antara sufi dengan Tuhan dalam posisi seakan tiada jarak lagi antara keduanya. Dalam memberi makna terhadap posisi “dekat tanpa jarak” inilah terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini.Tasawuf Sunni berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada jarak sehingga tidak mungkin tumbbuh karena keduanya tidak seesensi.Lain halnya dengan tasawuf falsafi, dengan tegas mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan ttercipta dari esensi-Nya.Oleh karenannya keduanya dapat berpadu apabila kondisi untuk itu telah tercipta.
Tasawuf Sunni kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena amereka sudah merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli agamawi. Apabila dilihat dari aspek materi kajian dan proses pencapaian sasaran antara, tasawuf sunni dapat dibedakan kepada tasawuf akhlaki dan amali. Berbeda dengan tasawuf falsafi, kelompok ini justru gemar terhadap ide-ide spekulatif karena kebanyakan sufi aliran ini memilki pengetahuan yang cukup dalam tentang lapangan filsafat.

G.  HUBUNGAN TASAWUF DENGAN ILMU KALAM, ILMU FILSAFAT, ILMU FIQIH, DAN ILMU JIWA

  • Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam

            Ilmu kalam adalah disiplin ilmu keIslaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits. Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam terkesan tidak menyentuh rasa rohaniah. Sebagai contoh, ilmu kalam menerangkan bahwa Allah bersifat Sama’, Bashar, Kalam, Iradah, Qudrah, Hayat, dan sebagainya. Namun, ilmu kalam tidak menjelaskan bagaimana seorang hamba dapat merasakan langsung bahwa Allah mendengar dan melihatnya, bagaimana pula perasaan hati seseorang ketika membaca Al-Qur’an, bagaimana seseorang merasa bahwa segala sesuatu yang tercipta merupakan pengaruh dari kekuasaan Allah ?

            Pernyataan-pernyataan diatas sulit terjawab hanya dengan berlandaskan pada ilmu kalam. Biasanya, yang membicarakan penghayatan sampai pada penanaman kejiwaan manusia adalah ilmu Tasawuf. Disiplin inilah yang membahas bagaimana merasakan nilai-nilai akidah dengan memperhatikan bahwa persoalan bagaimana merasakan tidak saja termasuk dalam lingkup hal yang diwajibkan. Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Sementara pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman. Sebagaimana dijelaskan juga tentang menyelamatkan diri dari kemunafikan. Semua itu tidak cukup hanya diketahui batasan-batasannya oleh seseorang. Sebab terkadang seseorang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan, tetapi tetap saja melaksanakannya.

          Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai berikut.
1.     Sebagai pemberi wawasan  spiritual dalam pemahaman kalam. Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu Tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.

            Berfungsi sebagai pengendali ilmu Tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
            Berfungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional disamping muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Disinilah ilmu Tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam terkesan sebagai dialektika keIslaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.
            Andaikata manusia sadar bahwa Allahlah yang memberi, niscaya rasa hasud dan dengki akan sirna, kalau saja dia tahu kedudukan penghambaan diri, niscaya tidak akan ada rasa sombong dan membanggakan diri. Kalau saja manusia sadar bahwa Allahlah pencipta segala sesuatu, niscaya tidak akan ada sifat ujub dan riya. Dari sinilah dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah (pendakian para kaum sufi). Dalam ilmu Tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu kalam terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi akan lebih dinamis dan aplikatif.

  • Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Falsafah


            Biasanya Tasawuf dan filsafah selalu dipandang berlawanan. Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan Tasawuf mengharuskan pencelaan filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling mempengaruhi, bahkan asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan ruhani, kebersatuan dengan kebenaran mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah. Sedangkan filsafah tidak dimaksudkan hanya filsafah peripatetic yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intuitif (dzawqi).

  • Hubungan antara Tasawuf dan filsafat, yaitu :


            Bentuk hubungan yang paling luas antara Tasawuf dan filsafat tentu saja adalah pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-karya al-Ghazali bersaudara, Abu hamid dan Ahmad. Dan penyair sufi besar seperti Sana’I, Athar, dan Rumi. Kelompok sufi ini hanya memperhatikan aspek rasional dari filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak mengartikan intelek dalam arti mutlaknya, namun mengacu kepada aspek rasional intelek (akal). Athar juga memahami filsafat hanya sebagai filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan misteri ilahiah dan pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa dibawah bimbingan spiritual para guru sufi. Intelek tidak sama dengan hadist Nabi dan falsafah tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna Qur’aninya. Matsnawi adalah sebuah Masterpiece filsafat.

            Hubungan antara Tasawuf dan filsafat tampak dalam munculnya bentuk khusus yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf ini tidak menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi (hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab Tasawuf itu, intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang mutlak dengan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dengan demikian, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi (ilmu ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan filsafat didunia Arab, tapi di Persia ia juga amat mempengaruhi jika bukan menggantikan filsafat dan kemudian secara amat efektif  menggabungkan filsafat dan Tasawuf, bahkan mengganti nama Tasawuf menjadi Irfan (gnosis,makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan istilah falsafah dan rasionalisme. Hubungan Tasawuf dan filsafah berbeda dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada Athar dan lainnya.
            Hubungan antara Tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para sufi yang sekaligus juga filosof, Yang telah berusaha untuk merujuk tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin kasyani, Quthbuddin syirazi, Ibd Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qosim findiriski, orang-orang ini seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah mencapai maqam spiritual, dan beberapa diantara mereka terdapat para wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan cukup mengherankan, beberapa diantara mereka lebih tertarik pada  filsafat peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi), sebagaimana dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat mendalami As-Syifanya Ibnu Sina. Diantara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat Ziarah, baik orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga dianggap sebagai salah satu filosof Persia terbesar yang sumbangannya bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi. Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan merupakan Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal logika dan filsafat yang paling ketat sekalipun. Figur besar lain seperti Quthbuddin al-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan para sufi dan juga menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam bahasa Persia, Durrat al-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani, yang Tamhid al-Qawaidnya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus Tasawuf, dan Mir Abul Qosim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat   yang kepadanya banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua sesungguhnya adalah para pengikut mazhab Afdhluddin Kasyani, sejauh menyangkut upaya pemantapan hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
            Kategorisasi umum kita mengenai hubungan Tasawuf dengan filsafat, mencakup para filosof yang mempelajari atau mempraktekan Tasawuf. Yang pertama dari kelompok ini adalah Al-Farabi, yang mempraktekan Tasawuf dan bahkan telah mengubah musik yang dimainkan dalam pertemuan Sama’ pada sufi, mutiara hikmah yang dinisbatkan kepadanya sangatlah penting. Karena, pada dasarnya, inilah buku mengenai filsafat maupun makrifat dan hingga kini diajarkan di Persia bersama komentar-komentar makrifati.

  • Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqih


            Biasanya, pembahasan kitab-kitab fiqih selalu dimulai dari Thaharah, kemudian persoalan-persoalan kefiqihan lainnya. Namun, pembahasan ilmu fiqih tentang thaharah atau yang lainnya secara tidak langsung terkait dengan pembicaraan nilai-nilai rohaniahnya. Persoalannya sekarang, disiplin ilmu apakah yang dapat menyempurnakan ilmu fiqih dalam persoalan-persoalan tersebut ? Ilmu Tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini berhasil memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud adalah ikhlas dan khusyuk berikut jalannya masing-masing. Bahkan ilmu ini mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih. Akhirnya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniah.

            Dahulu para ahli fiqih mengatakan “Barang siapa mendalami fiqih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum mendalami fiqih, berarti ia zindiq. Dan Barang siapa melakukan ke-2 nya, berarti ia melakukan kebenaran”. Tasawuf dan fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara ke-2 nya, berarti disitu terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fiqih, atau seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fiqih. Tegasnya, seorang fiqih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya. Ini menjelaskan bahwa ilmu Tasawuf dan ilmu Fiqih adalah 2 disiplin ilmu yang saling melengkapi.

            Ilmu tasawuf tampaknya merupakan jawaban yang paling tepat karena ilmu ini memberikan corak batin terhadap ilmu fiqih. Corak batin yang dimaksud, seperti ikhlas dan khusu’ berikut jalannya masing-masing. Bahkan, ilmu ini dapat menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hilim-hukum fiqih. Alasannya, pelaksanaan kewajiban manusia tidak akan sempurna tanpa perjalanan rohaniyah.
            Makrifat secara rasa terhadap Allah melahirkan pelaksanaan hukum-hukum-Nya secara sempurna. Dari sinilah dapat diketahui kelirunya pendapat yang menuduh perjalanan menuju Allah (dalam tasawuf) sebagai tindakan melepaskan diri dari hukum-hukum Allah.
Allah SWT sendiri telah berfirman:
Artinya: ”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
            Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Junaid – seperti dikutip Sa’id Hawwa’ – menuduh sesat golongan yang menjadikan whusul (mencapai) Allah sebagi tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’at. Lebih tegas ia mengatakan, Betul mereka sampai, tetapi ke neraka saqar”.
            Dahulu para ahli fiqih mengatakan, ”barangsiapa mendalami fiqih tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa bertasawuf tetapi belum mendalami fikih berarti aia zindiq; Dan barangsiapa melakukan keduanya, berarti ia ber-tahaqquq (melakukan kebenaran).” tasawufdan fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti ia terjadi kesalahan dan penyimpangan. Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih atau menjauhi fikih, atau seorang ahli fikih tidak mengamalkan ilmunya.
            Jadi, seorang ahli fikih harus bertasawuf. Sebaliknya, seorang ahli tasawuf pun harus mendalmi dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya, seorang fakih harus mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan yang berkaitan dengan tata cara pengamalannya. Seorang sufu pun harus m,engetahui aturan-aturan hukum dan sekligus mengamalkannnya. Syeikh A-Rifa’i berkata, ”Sebenarnya tujuan akhir para ulama dan para sufi dalah satu. ”Pernyataan Ar-Rifa’i diatas perlu dikemukakan sebab beberapa sufi yang ”terkelabui” selalu menghujat setiap orang dengan perkataan, ”orang yang tidak memiliki syaikh, maka syaikhnya adalah setan.” Ungkapan ini diungkapkan seorang sufi bodoh yang berpropaganda untuk seikhnya; atau dilontarkan oleh sufi keliru yang tidak tahu bgaimana seharusnya mendudukkan tasawuf pada tempat yang sebenarnya.
            Para pengamat Ilmu Tasawuf mengakui bahwa orang yang telah berhasil menyatukan ilmu tasawuf dengan fikih adalah Al-Ghazali. Kitab Ihya’ Ulumuddinnya dapat dipandang sebagai kitab yang dapat mewakili dua disiplin ilmu ini, disamping disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu kalam dan filsafat. Paparan diatas telah menjelaskan bahwa ilmu tasawuf mengakui bahwa tasawuf dan ilmu fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu ini sangat beragam, sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fikih, yanbg terkesan sangat formalistik – lahiriyah, menjadi sangat kering, kaku, dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniyah yang dimiliki ilmu tsawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap ”merasa suci” sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yang diatur dalam ilmu fikih.

  • Hubungna Tasawuf dengan Ilmu Jiwa


            Dalam pembahasan Tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam Tasawuf tersebut adalah terciptanya keserasian antara ke-2 nya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku yang dipraktikan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dkategorikan sebagai perbuatan jelek atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang  ditampilkannya jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jalek. Dalalm pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang bergantung pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam tubuhnya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya adalah yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa kebahagiaan dirinya dan orang lain. Disamping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.

            Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
            Manusia sebagai makhluk Allah memiliki jasmani dan rohani. Salah satu unsur rohani manusia adalah hati (Qalbu) disamping hawa nafsu. Karena itu penyakit yang dapat menimpa mansia ada dua macam, yaitu penyakit jasmani dan penyakit rohani atau jiwa atau qalbu.
            Di dalam beberapa ayat Al-Qur’an dikatakan bahwa di dalam hati manusia itu ada penyakit, Antara lain penyakit jiwa manusia itu adalah iri, dengki, takabur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
            Dengan tasawuf manusia akan dapat menghindarkan diri dari penyakit kejiwaan (psikologis) berupa prilaku memperturutkan hawa nafsu keduniaan, seperti: iri, dengki, takabbur, resah, gelisah, khawatir, stress dan berbagai penyakit jiwa lainnya.
            Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
            Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.
            Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
            Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
            Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikehendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauhmana hubungan perilaku yang diperaktekkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini baru muncul kategori-kategori perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan buruk atau perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang adalah perbuatan baik, ia disebut orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkan jelek ia disebut sebagai orang yang berakhlak buruk.
            Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dan sifat seseorang tergantung pada jenis jiwa yang berkuasa pada dirinya. Jika yang berkuasa atas dirinya adalah nafsu-nafsu hewani atau nabati, prilaku yang tampil adalah prilaku hewani dan nabati pula. Sebaliknya, jika yang berkuasa adalah nafsu insani, yang tampil adalah prilaku insani pula.

            Kalau para sufi menekankan unsur kejiwaan dalam konsepsi tentang manusia, berarti bahwa hakikat zat, dan inti kehidupan manusia terletak pada unsur spritual dan kejiwaannya. Ditekankannya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidaklah berarti bahwa para sufi mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga mereka pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya dibumi.
            Dengan demikian, pada aspek lain psikologi juga kita temukan masih menggunakan teori dan metodologi psikologi modern. Dan sedangkan tasawuf lepas sama sekali dari teori dan metodologi psikologi modern. Inilah yang membedakan antara tasawuf dengan psikologi Islam.
            Namun pada sisi lain tasawuf juga memberi kontribusi besar dalam pengembangan Psikologi Islam, karena tasawuf merupakan bidang kajian Islam yang membahas jiwa dan gejala kejiwaan. Unsur Islam dalam psikologi Islam akan banyak berasal dari tasawuf. Dan hanya sedikit berbeda antara tasawuf dengan ilmu kejiwaan adalahdari metode sistem pandangannya terhadap mempelajari kejiwaan manusia. Jika kita lihat tasawuf melihat manusia dari sisi internalnya artinya langsung mempelajari isi dan kondisi hati ataupun kejiwaan manusia bagaimana seharusnya. Sedangkan ilmu jiwa ataupun yang sering dikenal dengan psikologi mempelajari dan mendeskripsikan kejiwaan manusia dari eksternal manusia yaitu dengan mempelajari hal-hal yang tampak dari sikap dan prilaku manusia apa adanya karena menurutnya dari mempelajari prilakunya kita dapat menggambarkan bagaimana kondisi kejiwaannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar