MAKALAH PARIWISATA BERWAWASAN LINGKUNGAN BUDAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan sektor pariwisata ini di satu sisi memberikan keuntungan ekonomis yang cukup tinggi. Keuntungan ekonomis ini membawa pengaruh pada pendapatan negara secara umum dan kesejahteraan masyarakat sekitar secara khusus. Kehadiran wisatawan dapat diartikan sebagai kehadiran rezeki bagi sejumlah orang mulai para pemandu wisata, tukang becak, sampai dengan para pedagang. Dengan demikian, sektor pariwisata bukan sekedar memberikan keuntungan bagi pelaku-pelaku bidang pariwisata melainkan juga memberikan keuntungan sektor-sektor lain di luar pariwisata.
Namun, karena tuntutan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, ada sejumlah hal yang pada akhirnya terkorbankan atau tidak diperhatikan. Misalnya saja, karena tuntutan penyediaan penginapan bagi para wisatawan, sejumlah tempat dibongkar untuk mendirikan hotel. Karena tuntutan pengembangan pariwisata terjadi pembebasan tanah besar-besaran.
Dalam arti yang sangat luas, kebudayaan dapat dinyatakan sebagai keseluruhan masalah-masalah sepiritual, material, segi-segi intelektual dan emosional yang beragam,dan memberi watak kepada suatu masyarakat atau kelompok sosial.Kebudayaan juga dapat pula diartikan sebagai segenap perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika) manusia dalam rangka perkembangan pribadi manusia; hubungan manusia dengan manusia,hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan (Bandem, 1995). Para ahli kebudayaan menekankan pentingnya aspek kebudayaan diperhitungkan dalam pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), adalah kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirinya dengan belajar. Selanjutnya menurut Koentjaraningrat, ada tujuh unsur kebudayaan secara universal, yaitu; (1). Bahasa, (2). Sistem teknologi, (3). Sitem mata pencaharian atau ekonomi, (4). Organisasi sosial, (5). Sitem pengetahuan, (6). Religi, dan (7). Kesenian.
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil, dan pendukungnya terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang sangat beragam wujudnya. Jika dipandang dari sudut budaya, di Indonesia terdapat budaya-budaya yang sangat beragam (pluralistik), mulai dari adanya budaya lokal, suatu kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan keluarga; kebudayaan daerah, suatu kebudayaan yang disepakati oleh daerah atau suku bangsa tertentu seperti kebudayaan Jawa, Bali, Minang, Sunda, Bugis, Sasak, Dayak, Papua, Madura, dan sebagainya. Wawasan aneka budaya (multikultural) dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali ditampilkan dan dianjurkan dalam berbagai forum (Edi Sedyawati 2002), namun sebenarnya perlu disadari bahwa situasi aneka budaya itu tidak sama di semua negara, meskipun sama-sama mempunyai keanekaragaman budaya.
B. Identifikasi Masalah
Melihat semua hal yang melatar belakangi Kebudayaan pariwisata maka, kami menarik beberapa masalah dengan berdasarkan kepada :
- Kurangya perhatian dari masyarakat kebanyakan pada lingkungan kebudayaan. Sehingga kurangya pengetahuan masyarakat tentang kepariwisataan lingkungan budaya.
C. Pembatasan Masalah
Karena cangkupan kebudayaan yang begitu luas dan meliputi berbagai aspek kehidupan, maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari segi Unsur dan aspek Kebudayaan dan kepariwisataan dari masyarakat bali. Serta perkembangnnya sampai dengan sekarag ini.
D. Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang dan identiikasi masalah diatas, maka kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai berikut:
”Bagaimana dengan diterapkannya Pariwisata dengan Berwawasan Lingkungan Budaya serta Perkembangannya sekarang ini?”
E. Tujuan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini, yaitu untuk memberikan informasi mengenai Perkembangan pariwisata berwawasan lingkungan budaya yang meliputi beberapa aspek-aspek dalam meningkatkan kepariwisataan indonesia yang mendorong pengembangan sektor-sektor lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGEMBANGAN PARIWISATA BERWAWASAN LINGKUNGAN BUDAYA
1. Pentingnya Pengembangan Sektor Pariwisata
Dalam kehidupan masyarakat modern, rekreasi merupakan kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dihilangkan lagi. Hal ini berkaitan erat dengan kesibukan hidup sehari-hari yang pada akhirnya membutuhkan penyeimbang berupa kesantaian dan refresing. Kebutuhan akan kesantaian dan refresing ini perlu mendapat jawaban berupa bisnis rekreasi dan hiburan. Dalam hal ini sektor pariwisatalah yang berkepentingan.
Dari sisi lain, pengembangan sektor pariwisata mampu mendorong pengembangan sektor-sektor lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung.Pengembangan kawasan pantai misalnya,akan mendorong pengembangan bidang transportasi baik berupa perbaikan jalan maupun route angkutan kendaraan umum. Perbaikan sarana jalan dan angkutan kendaraan umum mengakibatkan daerah di sekitarnya terbebas dari isolasi, yang pada akhirnya membawa pengaruh pada dinamika kehidupan penduduknya. Di samping itu, pengembangan sektor pariwisata membuka peluang bagi penduduk sekitarnya untuk meningkatkan taraf perekonomian melalui bisnis rumah makan maupun penginapan.
Dalam skala yang lebih besar, kesejahteraan dunia membawa pengaruh pada orang-orang dari berbagai penjuru dunia untuk mengenal kebudayaan dari negara lain. Salahsatu caranya adalah dengan mengadakan perjalanan wisata. Keingintahuan ini menghasilkan keuntungan ekonimis berupa masuknya devisa pada keungan negara. Pada akhirnya, bisnis pariwisata memberikan keuntungan yang cukup besar dari berlapis bagi bangsa dan masyarakat.
Melihat sejumlah indikator di atas, pengembangan sektor pariwisata tampaknya menjadi sesuatu yang penting dan perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak. Karena jika sektor ini tidak mendapat perhatian khusus, mata rantai pencarian nafkat mulai dari para tukang becak, pemandu wisata, pengelola perjalanan wisata, sampai keuangan negara akan terpengaruh. Sebaliknya jika sektor ini pendapat perhatian khusus dan pada akhirnya sektor ini menjadi maju, banyak pihak yang diuntungkan.
2. Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata
Pengembangan pariwisata meliputi berbagai bidang. Di antaranya adalah pengembangan wisata alam (pantai, gunung, gua) dan pengembangan wisata budaya (upacara tradisional, pakaian tradisional, tari). Kedua bidang tersebut sama-sama memiliki daya tarik khusus bagi para wisatawan. Namun, jika kita mau mencoba mencermati kecenderungan para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, bidang yang menjadi daya tarik utama adalah bidang kebudayaan. Pariwisata alam tampaknya hanya menjadi “tempat beristirahat” bagi para wisatawan.
Ketertarikan wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama, banyaknya wisatawan yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan Jawa. Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional khas. Ketiga, banyaknya wisatawan yang tertarik mempelajari budaya khas seperti menari dan membatik. Keempat, banyaknya wisatawan yang tertarik dengan keramahtamahan kita dalam menanggapi mereka.
Dalam jangka panjang, bidang kebudayaan tampaknya akan lebih mendominasi motivasi wisatawan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin langkanya nuansa tradisional di negara-negara maju.Karena kelangkaan tersebut, banyak orang ingin mengetahui bentuk-bentuk budaya asli nenek moyang mereka.
Jika sektor pariwisata budaya ini benar-benar dikelola oleh pemerintah, Yogyakarta akan mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk mengembangkan priwisata budaya seperti Korea dan Jepang. Namun, jika sektor ini justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pariwisata alam, lama kelamaan para wisatawan akan bosan karena pada dasarnya pariwisata alam bersifat statis dan sekali datang.
Namun demikian, jika pengembangan pariwisata budaya ini dikembangkan dengan sembarangan, pengembangan pariwisata ini bisa menjadi bumerang atas kebudayaan itu sendiri. Eksploitasi besar-besaran terhadap pariwisata budaya akan mengakibatkan budaya tersebut kehilangan kualitasnya. Akibatnya, kebudayaan hanya sekedar simbol-simbol mati, tanpa makna.Pembisnisan budaya yang berlebihan juga akan mengaburkan hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Pada akhirnya, kebudayaan tercabut dari asal-usulnya, yaitu masyarakat.
Pada sektor lain, pengembangan kebudayaan yang hanya diorientasikan pada pariwisata juga akan mengakibatkan para pelakunya terlalu “bisnis oriented”. Bisnis oriented dalam bidang budaya atau komersialisasi budaya sebenarnya merupakan efek samping terjadinya transformasi budaya dalam proses pembangunan suatu negara. Menurut Suyatno Kartodirdjo (1992:145), ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial.
Akibatnya, motivasi utamanya bukan lagi menunjukkan keluhuran budaya yang dimilikinya melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Transoformasi yang tidak berakar pada kedua hal tersebut akan menghasilkan budaya modern yang pada gilirannya akan menelan jenis budaya-budaya (tradisional) yang mempunyai nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa (Kartodirdjo, 1992:146).
Dalam hubungannya dengan transformasi kebudayaan sebagai akibat pengembangan sektor pariwisata, ada baiknya disimak pendapat dari Sutan Takdir Alisahbana(Rahmanto, 1992:141). Beliau mengatakan bahwa transformasi budaya yang disebabkan oleh penerapan teknologi maju yang terlepas dari perspektif budaya bangsa akan mengakibatkan manusia dikuasai teknologi, dan bukan sebaliknya.
3. Solusi Pengembangan Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Permasalahan pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita mampu mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan kebudayaan.
Pertama, pembangunan fisik yang memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Sebagai bagian dari kebudayaan Jawa, masyarakat Yogyakarta mengenal berbagai bentuk bangunan fisik. Dalam rangka menciptakan lingkungan budaya, fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel, rumah makan, dan rumah penduduk sebaiknya mencerminkan bentuk bangunan khas Yogyakarta. Gedung-gedung bertingkat, rumah dengan bentuk atau corak barat, dan fasilitas perkantoran bergaya Barat sebaiknya dibatasi secara sungguh-sungguh. Dominasi gedung bertingkat dan rumah bergaya Barat mengakibatkan bentuk-bentuk fisik khas Yogyakarta menjadi pudar dan lama kelamaan hilang dengan alasan ekonomis (penghematan tempat).
Dalam kaitannya dengan mempertahankan kekhasan budaya Yogyakarta, ada baiknya kit simak pendapat dari P.J. Suwarno (1992). Beliau mengatakan bahwa Sultan yang memegang kekuasaan kharismatik, tradisional, dan legal-rasional menggunakan kekuasaan itu secara bijaksana untuk mentransformasikan Yogyakarta dari tradisional ke modern tanpa menghancurkan tradisi, tetapi menyeleksinya untuk dimanfaatkan dalam modernisasi Yogyakarta. Jika pendapat itu kita hubungkan dengan upaya mempertahankan bentuk fisik khas Yogyakarta, dapat dikatakan bahwa boleh jadi bentuk luarnya adalah bentuk khas Yogyakarta tetapi fasilitas dalamnya dikemas dalam nuansa modern.
Kedua, menghidupkan wisata budaya tradisional. Wisata tradisional yang dimaksudkan di sini adalah penyajian berbagai bentuk kebudayaan tradisional kepada para wisatawan. Bentuk-bentuk kebudayaan tradisional yang dimaksudkan antara lain jathilan, kirab pusaka, sekaten, dolanan bocah, dan upacara adat. Bentuk-bentuk kebudayaan ini sebenarnya memiliki daya tarik tinggi tetapi karena jarang dipertunjukkan secara rutin, para wisatawan kadang-kadang kesulitan menyaksikannya.
Ketiga, memberikan pendidikan budaya pada generasi muda. Sumber kemerosotan budaya sebenarnya bermula dari ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pemeliharaan kebudayaan bagi kelangsungan hidup sektor pariwisata. Akibat ketidaktahuan ini, banyak generasi muda justru mengikuti kebudayaan asing daripada memelihara kebudayaan sendiri. Sehingga, ketika mereka berhadapan dengan para wisatawan, yang dikedepankan adalah sikap dan perilaku yang meniru mereka, seperti berbicara dengan bahasa asing, berpakaian dengan gaya asing, dan bahkan berperilaku yang tidak sesuai dengan kebudayaan sendiri.
Slamet Sutrisna ( 1992:147) mengatakan bahwa perubahan kebudayaan tidak hanya melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif. Dalam hubungannya dengam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, budaya keilmuan harus dikembangkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pengembangan dan pelestarian lingkungan budaya perlu dihubungkan dengan proses pendidikan bagi generasi penerusnya.
Keempat, penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Warisan nenek moyang kita berupa tosan aji, gebyog, perabot tradisional, dan barang antik lainnya tampaknya semakin merosot seiring dengan maraknya bisnis barang antik. Banyak sekali perabot tradisional yang diperjualbelikan dan diekspor ke luar negeri. Keuntungan ekonimisnya memang cukup besar, namun kita kehilangan barang-barang warisan nenek moyang. Padahal barang-barang seperti itu juga memiliki nilai sejarah dan memiliki daya tarik pariwisata. Jika pada akhirnya benda-benda seperti itu habis berpindah ke luar negeri, pariwisata kita akan kehilangan obyek yang bisa dipromosikan.
Kelima, pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan. Dalam hubungannya dengan anggaran pembangunan, anggaran pembangunan sarana fisik tampaknya masih menjadi perhatian utama dan menyerap banyak sekali dana. Padahal, pengembangan sarana fisik inilah yang secara langsung menghancurkan lingkungan budaya masyarakat tertentu. Munculnya hotel megah di antara rumah penduduk membawa akibat berubahnya budaya masyarakat sekitarnya. Alangkah baiknya jika dalam waktu mendatang pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan ditambah atau diperbesar. Masyarakat tradisional sebenarnya masih ingin memainkan jathilan, tayub ataupun slawatan. Namun karena terbentur pada masalah anggaran mereka tidak mampu mengembangkan kebudayaan itu. Jika tersedia anggaran, niscaya mereka akan dengan senang hati mengadakan pertunjukan jathilan secara rutin, mereka akan senang hati mengadakan pertunjukan tayub secara rutin. Apalagi jika para pelaku budaya tersebut mendapat insentif berupa uang lelah atas pentas mereka.
4. Pembangunan dan nilai budaya
Persoalan kompleks disekitar pembangunan bangsa dapat kita pahami bersama yaitu persoalan daya guna, keadilan, dan kesejahteraan yang belum merata. Ada kelemahan yang mewarnai konsep pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan konsep tricking down effect (Tjatra, 2004), dan muncullah berbagai konsep pembangunan alternatif, seperti ecodevelopment dan sustainable development. Pendekatan ekologi – ecodevelopment memandang keberlanjutan pembangunan dari sudut sejarah kebudayaan masyarakat tertentu, keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat biasa, ethno-ecology, dan keadaan alam yang mewarnai ecosistem setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang tinggal dalam lingkungannnya.
Budaya modern membedakan dan menyepakati berbagai hubungan politik,ekonomi, budaya antara saat ini dan masa depan (Tian Feng, 1999), untung dan rugi lewat perubahan hari ini dan besok dari strategi berlawanan. Oleh sebab itu, uji coba penting saat ini adalah, memberikan masyarakat mempelajari dan menganalisa “modern dan tradisional”, “seni dan teknologi”, “jiwa dan tubuh”, “materi dan ruh”, dari sisi positif dan negatif sains dan teknologi modern. Karena lewat jalan berlawanan kita akan melihat dengan jelas keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejelekan, tinggi dan rendah, puas dan serakah, jauh dan dekat, untung dan rugi, dan lain-lain, untuk mengetahui segalanya. Manifesto kebudayaan pluralistik juga merupakan salah satu dari kebudayaan tradisional, demikian juga manifesto ekonomi dan politik pluralistik. Dengan demikian persentuhan antar budaya tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu – bergerak kemasa lampau dan masa depan.
5. Pariwisata Budaya
Banyak pakar budaya yang menganggap bahwa industri pariwisata berdampak kurang baik, bahkan merusak perkembangan seni pertunjukan di negara berkembang(Soedarsono,1999).Industri pariwisata dikatakan merusak, mendesakralisasikan, mengkomersialisasikan seni pertunjukan tradisional, dan sebagainya. Lebih lanjut Soedarsono dalam hasil penelitiannya, bahwa dalam menilai kemasn seni pertunjukan wisata digunakan teori serta konsep yang benar dan cocok, jelas industri pariwisata memperkaya perkembangan seni pertunjukan Indonesia Kebudayaan ekspresif, seperti tarian, musik, dan teater, sekarang ini menjadi bentuk-bentuk hiburan dan komoditi komersial.
6. Peluang alternatif lewat menghormati keragaman dan komunitas budaya.
Secara umum, tradisi-tradisi budaya di Indonesia mengutamakan keselarasan hubungan-hubungan orang-perorang dalam masyarakat yang dilandasi prinsip-prinsip rukun dan hormat (Soehardi, 2001:3-26). Artikulasi keselarasan itu berbeda dari masyarakat suku bangsa satu dengan lainnya, tetapi prinsip-prinsip kerukunan yang diwujudka dalam aktivitas gotong-royong dapat dijumpai di semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Perjalanan perkembangan suatu kebudayaan dan masyarakat dalam sejarahnya tidak pernah tertutup dari persinggungan budaya-budaya lain. Dimana kontak-kontak budaya regional, atau antar benua sudah berlangsung dari zaman awal sejarah samapi sekarang (melalui perkembangan komunikasi global seolah-olah antar budaya kini menjadi tanpa batas). Kalau dilihat dari teori evolusi, maka perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dapat dipandang sebgai suatu „progress‟ yang sejalan dengan proses evolusi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dengan demikian proses perubahan semacam ini dapat dialami hampir semuan bangsa-bangsa di dunia, termasuk suku-suku bangsa di Indonesia; Jawa, Bali, Sunda, Minang, Batak, dan yang lainnya.
Kontak masyarakat Bali dengan budaya luar bukan sesuatu hal baru, karena telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai „pengaruh luar‟ dalam adat budaya Bali, seperti pengaruh India, Cina, Arab dan – tentu saja – Jawa (MPLA, 1991; Mantra, 1993; Barth, 1993, dalam Pitana, 1994:156-157). Selanjutnya intensitas kontak kebudayaan Bali dengan kebudayan luar meningkat secara dramatik pada paruh kedua abad ini, yang terkait erat dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat dibidang komunikasi dan transportasi, serta keberhasilah Bali menjadikan dirinya sebagai daerah tujuan wisata yang terkenal di dunia (ibid, 157). Dari prespektif sejarah, kebudayaan Bali memiliki keterbukaan dengan kebudayaan luar dan memperlihatkan sifat fleksibel dan adaptif. Potensi ini penting artinya untuk menghindari perbenturan antar budaya. Jika dilihat dari tatanan sejarah nasionalisme Indonesia, juga dapat dipahami bahwa konsep wawasan kebangsaan adalah “persatuan dan kesatuan”. Seperti dari pernyataan Presiden Soeharto, pada Dharma Santi Penyepian 1997, dalam Dewa Atmaja (2002), “bahwa dari kenyataan keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat dan budaya di Indonesia yang penting bukan masing-masing suku, bahasa, atau budayanya, akan tetapi keseluruhan suku bangsa, adat-istiadat, budaya,
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagasan tentang warisan cultural dipandang sebagai aspek penting yang harus dilindungi dalam rangka mencari identitas nasional dilandasi oleh hasrat sederhana untuk mengabdikan kegemilangan masa silam. Sebagaimana disebutkan di muka, pluraristik (keragaman) budaya khususnya seni pertunjukkan yang dimilikinya dapat sebagai sumber daya dalam pembangunan pariwisata berwawasan budaya.
Selama ini berbagai paguyuban etnis Nusantara yang terdapat di Bali khususnya Denpasar memiliki potensi budaya asalnya namun keberadaannya antara hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat belum bisa dirasakan, sehingga keragaman budaya khususnya seni pertunjukan daerahnya belum terjamah dan dimanfaatkan secara maksimal dalam mendukung pembangunan pariwisata berwawasan budaya.
Dengan demikian perlu adanya interaksi dan dialog-dialog yang intensif antara paguyuban etnis nusantara dengan lembaga formal khususnya pemerintah daerah dan organisasi-organisasi sosial lainnya seperti sanggar seni, sekaa-sekaa guna mendukung visi dan misi pembangunan daerah yang berwawasan budaya.
B. Saran
Solusi yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara pariwisata dan budaya. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita juga turut serta melestarikan lingkungan budaya kita. Sambil melestarikan kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan tradisional akan tetap terpelihara tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata.
DAFTAR PUSTAKA
Desky, M.A. 2001. Manajemen Perjalanan Wisata. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Kartodirdjo, Suyatno. 1992. “Tranformasi Budaya dalam Pembangun” dalam Tantangan Kemanusian Universal. Yogyakarta : Kanisius
Roem, Mohamad, dkk. 1982. Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX. Jakarta : PT. Gramedia.
Sutrisna, Slamet. 1992. “Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Suwarno, P.J. 1992. “Belajar dari Sejarah Yogyakarta untuk Memasuki Era Globalisasi” dalam Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Tnunay, Tontje. 1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten :CV. Sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar