KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat rahmat dan karuniaNyalah, karya ilmiah ini dapat terselesaikan
dengan baik, tepat pada waktunya,Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini
adalah untuk memenuhi tugas dengan judul Pengembangan Pariwisata Berwawasan
Lingkungan Budaya.Dengan membuat tugas ini kami diharapkan mampu untuk lebih
mengenal tentang Kepariwisataan dan kebudayaan yang berkembang sebagai kota
wisata budaya, yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia dan seringkali
luput dari pengamatan kita sebagai masyarakat Indonesia.
Dalam penyelesaian karya ilmiah ini, kami banyak mengalami
kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan yang menunjang.
Namun, berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya karya ilmiah
ini dapat terselesaikan dengan cukup baik.
Harapan
kami, semoga karya ilmiah yang sederhana ini, dapat memberi kesadaran
tersendiri bagi generasi muda bahwa kita juga harus mengetahui adat dan
kebudayaan khususnya dalam pariwisata indonesia dari seluruh provinsi yang ada
di Indonesia, karena kita adalah bagian dari keluarga besar Indonesia tercinta.
Sigli, 03 Agustus, 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR
ISI........................................................................................................... ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah.......................................................................... 1
B. Identifikasi
Masalah................................................................................. 2
C. Pembatasan
Masalah................................................................................ 2
D. Perumusan
Masalah................................................................................. 2
E. Tujuan...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pentingnya Pengembangan Sektor
Pariwisata.............................................. 3
2. Kedudukan Lingkungan Budaya dalam
Pariwisata..................................... 4
3.Solusi Pengembangan Pariwisata Berwawasan
Lingkungan......................... 5
4. Pembangunan dan Nilai
Budaya.................................................................. 7
5. Pariwisata
Budaya........................................................................................ 8
6.Peluang Alternatif lewat menghormati Keragaman dan Komunitas
Budaya 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................. 10
B. Saran....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan
sektor pariwisata ini di satu sisi memberikan keuntungan ekonomis yang cukup
tinggi. Keuntungan ekonomis ini membawa pengaruh pada pendapatan negara secara
umum dan kesejahteraan masyarakat sekitar secara khusus. Kehadiran wisatawan
dapat diartikan sebagai kehadiran rezeki bagi sejumlah orang mulai para pemandu
wisata, tukang becak, sampai dengan para pedagang. Dengan demikian, sektor
pariwisata bukan sekedar memberikan keuntungan bagi pelaku-pelaku bidang
pariwisata melainkan juga memberikan keuntungan sektor-sektor lain di luar
pariwisata.
Namun,
karena tuntutan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, ada sejumlah hal yang
pada akhirnya terkorbankan atau tidak diperhatikan. Misalnya saja, karena
tuntutan penyediaan penginapan bagi para wisatawan, sejumlah tempat dibongkar
untuk mendirikan hotel. Karena tuntutan pengembangan pariwisata terjadi
pembebasan tanah besar-besaran.
Dalam
arti yang sangat luas, kebudayaan dapat dinyatakan sebagai keseluruhan
masalah-masalah sepiritual, material, segi-segi intelektual dan emosional yang
beragam,dan memberi watak kepada suatu masyarakat atau kelompok
sosial.Kebudayaan juga dapat pula diartikan sebagai segenap perwujudan dan
keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika), serta perasaan (estetika)
manusia dalam rangka perkembangan pribadi manusia; hubungan manusia dengan
manusia,hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan (Bandem,
1995). Para ahli kebudayaan menekankan pentingnya aspek kebudayaan
diperhitungkan dalam pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), adalah kebudayaan sebagai
keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirinya dengan belajar. Selanjutnya
menurut Koentjaraningrat, ada tujuh unsur kebudayaan secara universal, yaitu;
(1). Bahasa, (2). Sistem teknologi, (3). Sitem mata pencaharian atau ekonomi,
(4). Organisasi sosial, (5). Sitem pengetahuan, (6). Religi, dan (7). Kesenian.
Indonesia
adalah salah satu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar
dan kecil, dan pendukungnya terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang
sangat beragam wujudnya. Jika dipandang dari sudut budaya, di Indonesia
terdapat budaya-budaya yang sangat beragam (pluralistik), mulai dari adanya
budaya lokal, suatu kebudayaan yang berlaku dalam lingkungan keluarga;
kebudayaan daerah, suatu kebudayaan yang disepakati oleh daerah atau suku
bangsa tertentu seperti kebudayaan Jawa, Bali, Minang, Sunda, Bugis, Sasak,
Dayak, Papua, Madura, dan sebagainya. Wawasan aneka budaya (multikultural)
dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali ditampilkan dan dianjurkan dalam
berbagai forum (Edi Sedyawati 2002), namun sebenarnya perlu disadari bahwa
situasi aneka budaya itu tidak sama di semua negara, meskipun sama-sama
mempunyai keanekaragaman budaya.
B.
Identifikasi Masalah
Melihat
semua hal yang melatar belakangi Kebudayaan pariwisata maka, kami menarik
beberapa masalah dengan berdasarkan kepada :
- Kurangya perhatian dari masyarakat kebanyakan
pada lingkungan kebudayaan. Sehingga kurangya pengetahuan masyarakat tentang
kepariwisataan lingkungan budaya.
C. Pembatasan Masalah
Karena
cangkupan kebudayaan yang begitu luas dan meliputi berbagai aspek kehidupan,
maka kami hanya membataskan penelitian hanya dari segi Unsur dan aspek Kebudayaan dan kepariwisataan
dari masyarakat bali. Serta perkembangnnya sampai dengan sekarag ini.
D.
Perumusan Masalah
Atas
dasar penentuan latar belakang dan identiikasi masalah diatas, maka kami dapat
mengambil perumusan masalah sebagai berikut:
”Bagaimana dengan
diterapkannya Pariwisata dengan Berwawasan Lingkungan Budaya serta
Perkembangannya sekarang ini?”
E. Tujuan
Tujuan
penulisan karya ilmiah ini, yaitu untuk memberikan informasi mengenai
Perkembangan pariwisata berwawasan lingkungan budaya yang meliputi beberapa
aspek-aspek dalam meningkatkan kepariwisataan indonesia yang mendorong
pengembangan sektor-sektor lain baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.
BAB
II
PEMBAHASAN
PENGEMBANGAN PARIWISATA
BERWAWASAN LINGKUNGAN BUDAYA
1. Pentingnya Pengembangan Sektor Pariwisata
Dalam
kehidupan masyarakat modern, rekreasi merupakan kebutuhan hidup manusia yang
tidak dapat dihilangkan lagi. Hal ini berkaitan erat dengan kesibukan hidup
sehari-hari yang pada akhirnya membutuhkan penyeimbang berupa kesantaian dan
refresing. Kebutuhan akan kesantaian dan refresing ini perlu mendapat jawaban
berupa bisnis rekreasi dan hiburan. Dalam hal ini sektor pariwisatalah yang
berkepentingan.
Dari
sisi lain, pengembangan sektor pariwisata mampu mendorong pengembangan
sektor-sektor lain baik secara langsung maupun secara tidak
langsung.Pengembangan kawasan pantai misalnya,akan mendorong pengembangan
bidang transportasi baik berupa perbaikan jalan maupun route angkutan kendaraan
umum. Perbaikan sarana jalan dan angkutan kendaraan umum mengakibatkan daerah
di sekitarnya terbebas dari isolasi, yang pada akhirnya membawa pengaruh pada
dinamika kehidupan penduduknya. Di samping itu, pengembangan sektor pariwisata
membuka peluang bagi penduduk sekitarnya untuk meningkatkan taraf perekonomian
melalui bisnis rumah makan maupun penginapan.
Dalam
skala yang lebih besar, kesejahteraan dunia membawa pengaruh pada orang-orang dari
berbagai penjuru dunia untuk mengenal kebudayaan dari negara lain. Salahsatu
caranya adalah dengan mengadakan perjalanan wisata. Keingintahuan ini
menghasilkan keuntungan ekonimis berupa masuknya devisa pada keungan negara.
Pada akhirnya, bisnis pariwisata memberikan keuntungan yang cukup besar dari
berlapis bagi bangsa dan masyarakat.
Melihat
sejumlah indikator di atas, pengembangan sektor pariwisata tampaknya menjadi
sesuatu yang penting dan perlu mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak.
Karena jika sektor ini tidak mendapat perhatian khusus, mata rantai pencarian
nafkat mulai dari para tukang becak, pemandu wisata, pengelola perjalanan
wisata, sampai keuangan negara akan terpengaruh. Sebaliknya jika sektor ini
pendapat perhatian khusus dan pada akhirnya sektor ini menjadi maju, banyak
pihak yang diuntungkan.
2. Kedudukan Lingkungan Budaya dalam Pariwisata
Pengembangan
pariwisata meliputi berbagai bidang. Di antaranya adalah pengembangan wisata
alam (pantai, gunung, gua) dan pengembangan wisata budaya (upacara tradisional,
pakaian tradisional, tari). Kedua bidang tersebut sama-sama memiliki daya tarik
khusus bagi para wisatawan. Namun, jika kita mau mencoba mencermati
kecenderungan para wisatawan khususnya wisatawan mancanegara, bidang yang menjadi
daya tarik utama adalah bidang kebudayaan. Pariwisata alam tampaknya hanya
menjadi “tempat beristirahat” bagi para wisatawan.
Ketertarikan
wisatawan pada bidang budaya dapat diketahui dari berbagai indikator. Pertama,
banyaknya wisatawan yang mengunjungi Kraton Yogyakarta. Keingintahuan wisatawan
terhadap Kraton Yogyakarta dilandasi oleh keingintahuan akan pusat kebudayaan
Jawa. Kedua, banyaknya wisatawan yang tertarik membeli benda-benda tradisional
khas. Ketiga, banyaknya wisatawan yang tertarik mempelajari budaya khas seperti
menari dan membatik. Keempat, banyaknya wisatawan yang tertarik dengan
keramahtamahan kita dalam menanggapi mereka.
Dalam
jangka panjang, bidang kebudayaan tampaknya akan lebih mendominasi motivasi
wisatawan. Hal ini berkaitan erat dengan semakin langkanya nuansa tradisional
di negara-negara maju.Karena kelangkaan tersebut, banyak orang ingin mengetahui
bentuk-bentuk budaya asli nenek moyang mereka.
Jika
sektor pariwisata budaya ini benar-benar dikelola oleh pemerintah, Yogyakarta akan
mampu bersaing dengan negara-negara lain yang maju dan mempunyai komitmen untuk
mengembangkan priwisata budaya seperti Korea dan Jepang. Namun, jika sektor ini
justru tidak terperhatikan, dan fokus pengembangan hanya pada pariwisata alam,
lama kelamaan para wisatawan akan bosan karena pada dasarnya pariwisata alam
bersifat statis dan sekali datang.
Namun
demikian, jika pengembangan pariwisata budaya ini dikembangkan dengan
sembarangan, pengembangan pariwisata ini bisa menjadi bumerang atas kebudayaan
itu sendiri. Eksploitasi besar-besaran terhadap pariwisata budaya akan
mengakibatkan budaya tersebut kehilangan kualitasnya. Akibatnya, kebudayaan
hanya sekedar simbol-simbol mati, tanpa makna.Pembisnisan budaya yang
berlebihan juga akan mengaburkan hakikat dari kebudayaan itu sendiri. Pada
akhirnya, kebudayaan tercabut dari asal-usulnya, yaitu masyarakat.
Pada
sektor lain, pengembangan kebudayaan yang hanya diorientasikan pada pariwisata
juga akan mengakibatkan para pelakunya terlalu “bisnis oriented”. Bisnis oriented dalam bidang budaya atau
komersialisasi budaya sebenarnya
merupakan efek samping terjadinya transformasi budaya dalam proses pembangunan
suatu negara. Menurut Suyatno Kartodirdjo (1992:145), ada empat masalah yang
timbul sebagai akibat tranformasi budaya, yaitu masalah ketahanan budaya dan
konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan
konsumerisme, dan masalah konflik sosial.
Akibatnya,
motivasi utamanya bukan lagi menunjukkan keluhuran budaya yang dimilikinya
melainkan pada pertimbangan bisnis semata. Jika hal itu terjadi, kebudayaan
bisa dimanipulasi demi kepentingan bisnis. Bahkan jika tidak diperhatikan
secara sungguh-sungguh hal itu akan mengakibatkan munculnya budaya baru yang
tidak berakar pada kepribadian dan identitas bangsa. Transoformasi yang tidak
berakar pada kedua hal tersebut akan menghasilkan budaya modern yang pada
gilirannya akan menelan jenis budaya-budaya (tradisional) yang mempunyai
nilai-nilai pencerminan kepribadian bangsa dan identitas bangsa (Kartodirdjo,
1992:146).
Dalam
hubungannya dengan transformasi kebudayaan sebagai akibat pengembangan sektor
pariwisata, ada baiknya disimak pendapat dari Sutan Takdir Alisahbana(Rahmanto,
1992:141). Beliau mengatakan bahwa transformasi budaya yang disebabkan oleh
penerapan teknologi maju yang terlepas dari perspektif budaya bangsa akan
mengakibatkan manusia dikuasai teknologi, dan bukan sebaliknya.
3.
Solusi Pengembangan Pariwisata Berwawasan Lingkungan
Permasalahan
pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita mampu
mengembangkan pariwisata yang berwawasan lingkungan budaya. Dalam hal ini ada
beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan kebudayaan.
Pertama,
pembangunan fisik yang memperhatikan kekhasan Yogyakarta. Sebagai bagian dari
kebudayaan Jawa, masyarakat Yogyakarta mengenal berbagai bentuk bangunan fisik.
Dalam rangka menciptakan lingkungan budaya, fasilitas-fasilitas penunjang
pariwisata seperti hotel, rumah makan, dan rumah penduduk sebaiknya
mencerminkan bentuk bangunan khas Yogyakarta. Gedung-gedung bertingkat, rumah
dengan bentuk atau corak barat, dan fasilitas perkantoran bergaya Barat
sebaiknya dibatasi secara sungguh-sungguh. Dominasi gedung bertingkat dan rumah
bergaya Barat mengakibatkan bentuk-bentuk fisik khas Yogyakarta menjadi pudar
dan lama kelamaan hilang dengan alasan ekonomis (penghematan tempat).
Dalam
kaitannya dengan mempertahankan kekhasan budaya Yogyakarta, ada baiknya kit
simak pendapat dari P.J. Suwarno (1992). Beliau mengatakan bahwa Sultan yang
memegang kekuasaan kharismatik, tradisional, dan legal-rasional menggunakan
kekuasaan itu secara bijaksana untuk mentransformasikan Yogyakarta dari
tradisional ke modern tanpa menghancurkan tradisi, tetapi menyeleksinya untuk
dimanfaatkan dalam modernisasi Yogyakarta. Jika pendapat itu kita hubungkan
dengan upaya mempertahankan bentuk fisik khas Yogyakarta, dapat dikatakan bahwa
boleh jadi bentuk luarnya adalah bentuk khas Yogyakarta tetapi fasilitas
dalamnya dikemas dalam nuansa modern.
Kedua,
menghidupkan wisata budaya tradisional. Wisata tradisional yang dimaksudkan di
sini adalah penyajian berbagai bentuk kebudayaan tradisional kepada para wisatawan.
Bentuk-bentuk kebudayaan tradisional yang dimaksudkan antara lain jathilan,
kirab pusaka, sekaten, dolanan bocah, dan upacara adat. Bentuk-bentuk
kebudayaan ini sebenarnya memiliki daya tarik tinggi tetapi karena jarang
dipertunjukkan secara rutin, para wisatawan kadang-kadang kesulitan menyaksikannya.
Ketiga,
memberikan pendidikan budaya pada generasi muda. Sumber kemerosotan budaya sebenarnya bermula dari ketidaktahuan
masyarakat akan pentingnya pemeliharaan kebudayaan bagi kelangsungan hidup
sektor pariwisata. Akibat ketidaktahuan ini, banyak generasi muda justru
mengikuti kebudayaan asing daripada memelihara kebudayaan sendiri. Sehingga,
ketika mereka berhadapan dengan para wisatawan, yang dikedepankan adalah sikap
dan perilaku yang meniru mereka, seperti berbicara dengan bahasa asing, berpakaian
dengan gaya asing, dan bahkan berperilaku yang tidak sesuai dengan kebudayaan
sendiri.
Slamet
Sutrisna ( 1992:147) mengatakan bahwa perubahan kebudayaan tidak hanya
melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif. Dalam
hubungannya dengam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, budaya keilmuan
harus dikembangkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, pengembangan dan
pelestarian lingkungan budaya perlu dihubungkan dengan proses pendidikan bagi
generasi penerusnya.
Keempat,
penghargaan terhadap warisan nenek moyang. Warisan nenek moyang kita berupa
tosan aji, gebyog, perabot tradisional, dan barang antik lainnya tampaknya
semakin merosot seiring dengan maraknya bisnis barang antik. Banyak sekali
perabot tradisional yang diperjualbelikan dan diekspor ke luar negeri.
Keuntungan ekonimisnya memang cukup besar, namun kita kehilangan barang-barang
warisan nenek moyang. Padahal barang-barang seperti itu juga memiliki nilai
sejarah dan memiliki daya tarik pariwisata. Jika pada akhirnya benda-benda
seperti itu habis berpindah ke luar negeri, pariwisata kita akan kehilangan
obyek yang bisa dipromosikan.
Kelima,
pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan. Dalam hubungannya dengan
anggaran pembangunan, anggaran pembangunan sarana fisik tampaknya masih menjadi
perhatian utama dan menyerap banyak sekali dana. Padahal, pengembangan sarana
fisik inilah yang secara langsung menghancurkan lingkungan budaya masyarakat
tertentu. Munculnya hotel megah di antara rumah penduduk membawa akibat
berubahnya budaya masyarakat sekitarnya. Alangkah baiknya jika dalam waktu
mendatang pengalokasian dana untuk pengembangan kebudayaan ditambah atau
diperbesar. Masyarakat tradisional sebenarnya masih ingin memainkan jathilan,
tayub ataupun slawatan. Namun karena terbentur pada masalah anggaran mereka
tidak mampu mengembangkan kebudayaan itu. Jika tersedia anggaran, niscaya
mereka akan dengan senang hati mengadakan pertunjukan jathilan secara rutin,
mereka akan senang hati mengadakan pertunjukan tayub secara rutin. Apalagi jika
para pelaku budaya tersebut mendapat
insentif berupa uang lelah atas pentas mereka.
4. Pembangunan dan nilai budaya
Persoalan
kompleks disekitar pembangunan bangsa dapat kita pahami bersama yaitu persoalan
daya guna, keadilan, dan kesejahteraan yang belum merata. Ada kelemahan yang
mewarnai konsep pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
konsep tricking down effect (Tjatra, 2004), dan muncullah berbagai konsep
pembangunan alternatif, seperti ecodevelopment dan sustainable development.
Pendekatan ekologi – ecodevelopment memandang keberlanjutan pembangunan dari
sudut sejarah kebudayaan masyarakat tertentu, keterampilan yang dimiliki oleh
masyarakat biasa, ethno-ecology, dan keadaan alam yang mewarnai ecosistem
setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia yang tinggal dalam
lingkungannnya.
Budaya
modern membedakan dan menyepakati berbagai hubungan politik,ekonomi, budaya
antara saat ini dan masa depan (Tian Feng, 1999), untung dan rugi lewat
perubahan hari ini dan besok dari strategi berlawanan. Oleh sebab itu, uji coba
penting saat ini adalah, memberikan masyarakat mempelajari dan menganalisa
“modern dan tradisional”, “seni dan teknologi”, “jiwa dan tubuh”, “materi dan
ruh”, dari sisi positif dan negatif sains dan teknologi modern. Karena lewat
jalan berlawanan kita akan melihat dengan jelas keindahan dan keburukan,
kebaikan dan kejelekan, tinggi dan rendah, puas dan serakah, jauh dan dekat,
untung dan rugi, dan lain-lain, untuk mengetahui segalanya. Manifesto
kebudayaan pluralistik juga merupakan salah satu dari kebudayaan tradisional,
demikian juga manifesto ekonomi dan politik pluralistik. Dengan demikian
persentuhan antar budaya tidak saja melampaui batas-batas geografis, tetapi
juga bersilangan dalam dimensi waktu – bergerak kemasa lampau dan masa depan.
5. Pariwisata Budaya
Banyak
pakar budaya yang menganggap bahwa industri pariwisata berdampak kurang baik,
bahkan merusak perkembangan seni pertunjukan di negara
berkembang(Soedarsono,1999).Industri pariwisata dikatakan merusak,
mendesakralisasikan, mengkomersialisasikan seni pertunjukan tradisional, dan
sebagainya. Lebih lanjut Soedarsono dalam hasil penelitiannya, bahwa dalam
menilai kemasn seni pertunjukan wisata digunakan teori serta konsep yang benar
dan cocok, jelas industri pariwisata memperkaya perkembangan seni pertunjukan
Indonesia Kebudayaan ekspresif, seperti tarian, musik, dan teater, sekarang ini
menjadi bentuk-bentuk hiburan dan komoditi komersial.
6. Peluang alternatif lewat menghormati
keragaman dan komunitas budaya.
Secara
umum, tradisi-tradisi budaya di Indonesia mengutamakan keselarasan
hubungan-hubungan orang-perorang dalam masyarakat yang dilandasi
prinsip-prinsip rukun dan hormat (Soehardi, 2001:3-26). Artikulasi keselarasan
itu berbeda dari masyarakat suku bangsa satu dengan lainnya, tetapi
prinsip-prinsip kerukunan yang diwujudka dalam aktivitas gotong-royong dapat
dijumpai di semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Perjalanan perkembangan
suatu kebudayaan dan masyarakat dalam sejarahnya tidak pernah tertutup dari
persinggungan budaya-budaya lain. Dimana kontak-kontak budaya regional, atau
antar benua sudah berlangsung dari zaman awal sejarah samapi sekarang (melalui
perkembangan komunikasi global seolah-olah antar budaya kini menjadi tanpa
batas). Kalau dilihat dari teori evolusi, maka perubahan-perubahan yang terjadi
tersebut dapat dipandang sebgai suatu „progress‟ yang sejalan dengan
proses evolusi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Dengan
demikian proses perubahan semacam ini dapat dialami hampir semuan bangsa-bangsa
di dunia, termasuk suku-suku bangsa di Indonesia; Jawa, Bali, Sunda, Minang,
Batak, dan yang lainnya.
Kontak masyarakat Bali dengan budaya luar
bukan sesuatu hal baru, karena telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Hal ini
dapat dilihat dari adanya berbagai „pengaruh luar‟ dalam adat budaya
Bali, seperti pengaruh India, Cina, Arab dan – tentu saja – Jawa (MPLA, 1991;
Mantra, 1993; Barth, 1993, dalam Pitana, 1994:156-157). Selanjutnya intensitas
kontak kebudayaan Bali dengan kebudayan luar meningkat secara dramatik pada
paruh kedua abad ini, yang terkait erat dengan adanya perkembangan teknologi
yang pesat dibidang komunikasi dan transportasi, serta keberhasilah Bali
menjadikan dirinya sebagai daerah tujuan wisata yang terkenal di dunia (ibid,
157). Dari prespektif sejarah, kebudayaan Bali memiliki keterbukaan dengan
kebudayaan luar dan memperlihatkan sifat fleksibel dan adaptif. Potensi ini
penting artinya untuk menghindari perbenturan antar budaya. Jika dilihat dari
tatanan sejarah nasionalisme Indonesia, juga dapat dipahami bahwa konsep wawasan
kebangsaan adalah “persatuan dan kesatuan”. Seperti dari pernyataan Presiden
Soeharto, pada Dharma Santi Penyepian 1997, dalam Dewa Atmaja (2002), “bahwa
dari kenyataan keanekaragaman suku bangsa, adat istiadat dan budaya di
Indonesia yang penting bukan masing-masing suku, bahasa, atau budayanya, akan
tetapi keseluruhan suku bangsa, adat-istiadat, budaya,
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagasan
tentang warisan cultural dipandang sebagai aspek penting yang harus dilindungi
dalam rangka mencari identitas nasional dilandasi oleh hasrat sederhana untuk
mengabdikan kegemilangan masa silam. Sebagaimana disebutkan di muka,
pluraristik (keragaman) budaya khususnya seni pertunjukkan yang dimilikinya
dapat sebagai sumber daya dalam pembangunan pariwisata berwawasan budaya.
Selama
ini berbagai paguyuban etnis Nusantara yang terdapat di Bali khususnya Denpasar
memiliki potensi budaya asalnya namun keberadaannya antara hak dan kewajiban
sebagai warga masyarakat belum bisa dirasakan, sehingga keragaman budaya
khususnya seni pertunjukan daerahnya belum terjamah dan dimanfaatkan secara
maksimal dalam mendukung pembangunan pariwisata berwawasan budaya.
Dengan
demikian perlu adanya interaksi dan dialog-dialog yang intensif antara
paguyuban etnis nusantara dengan lembaga formal khususnya pemerintah daerah dan
organisasi-organisasi sosial lainnya seperti sanggar seni, sekaa-sekaa guna
mendukung visi dan misi pembangunan daerah yang berwawasan budaya.
B. Saran
Solusi
yang sekiranya paling bijaksana adalah membangun simbiosis mutualisma antara
pariwisata dan budaya. Artinya, sambil mengembangkan sektor pariwisata, kita
juga turut serta melestarikan lingkungan budaya kita. Sambil melestarikan
kebudayaan kita, kita mengemas pelestarian tersebut dengan berorientasi pada
pariwisata. Jika hal itu dapat teruwujud, semaju apapun negara kita, kebudayaan
tradisional akan tetap terpelihara tanpa mengabaikan pengembangan pariwisata.
DAFTAR
PUSTAKA
Desky, M.A. 2001.
Manajemen Perjalanan Wisata. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.
Kartodirdjo, Suyatno.
1992. “Tranformasi Budaya dalam Pembangun” dalam Tantangan Kemanusian
Universal. Yogyakarta : Kanisius
Roem, Mohamad, dkk.
1982. Tahta Untuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX.
Jakarta : PT. Gramedia.
Sutrisna, Slamet. 1992.
“Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia” dalam Tantangan Kemanusiaan
Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Suwarno, P.J. 1992.
“Belajar dari Sejarah Yogyakarta untuk Memasuki Era Globalisasi” dalam
Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius.
Tnunay, Tontje. 1991.
Yogyakarta Potensi Wisata. Klaten :CV. Sahabat.
Bring the family and get free tickets for children under 12 when you buy a family package. For complete information, visit our website here https://wisata72.livejournal.com/
BalasHapus